Home > Artikel > ISIS, Sunni, dan Syiah
ArtikelIslamKolom Pimpinan FKUBUtama

ISIS, Sunni, dan Syiah

Oleh: Dr. KH. Ahmad Syafi Mufid – Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta dan Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama.

Kontroversi Islamic State of Irak and Syria (ISIS), kian merebak sekaligus membingungkan. Kekejaman ISIS dalam membantai musuh-musuhnya, terutama yang berasal dari Mazhab Syiah, benar-benar membuat merinding siapa pun. Jejeran kepala manusia yang dipenggal oleh tentara ISIS, seperti ditunjukkan dalam Youtube, benar-benar mengesankan bahwa “Islam” sedang menuju zaman barbar. Bendera ISIS yang berisi kalimat tauhid, sangat kontras dengan makna kalimat tauhid tersebut. Dunia internasional saat ini sedang menonton “panggung kebiadaban ISIS” yang mengusung kalimat Laa ilaaha Illah Muhammad Rasulullah!

Saat ini di sosmed – seperti youtube, fasebook, dan lainnya – tengah beredar siapa jati diri pemimpin ISIS – Abu Bakar al-Baghdadi. Menurut Edward Snowden – pembuat Wikileak – nama asli Abu Bakr adalah Elliot Shimon atau Sam’un Ilot– putra pasangan Yahudi. Elliot “al-Baghdadi” Shimon, menurut Snowden, adalah seorang agen Yahudi yang bertugas memecah belah umat Islam sekaligus mengorganisir kalangan Islam radikal untuk menjatuhkan Islam, baik secara internal antarumat Islam maupun secara internasional. Betulkah tuduhan itu? Mungkin perlu diselidiki lebih lanjut.

Namun satu hal sangat jelas: paham radikal dan ekstrim yang ditunjukkan ISIS ternyata tidak mengarah pada pembelaan terhadap Palestina yang tengah dibombardir Israel. Sebaliknya, ISIS malah menyerang pemerintah Irak dan Siria yang dipimpin orang-orang Syiah. Dari fakta-fakta tersebut, ISIS tampaknya lebih concernuntuk menghabisi muslim Syiah ketimbang memerangi Bangsa Yahudi yang selama ini menjadi monster menakutkan di Paestina. Yang menarik, ISIS mengklaim dirinya sebagai pengikut sunni. Sedangkan negeri-negeri yang tengah diserangnya, Siria dan Irak, dicap sebagai negeri syi’ah. Dengan mendikhotomikan sunni dan syiah inilah, ISIS berhasil mempengaruhi para pengikut muslim sunni, termasuk di Indonesia. Propaganda anti-syiah yang masih di Indonesia menjadikan kaum syiah seperti musuh yang harus dienyahkan.

Sunni ala ISIS versus Sunni Indonesia

Islam madzhab Sunni adalah madzhab atau aliran dalam Islam yang eksis dan dominan sepanjang sejarah, khususnya di kawasan Nusantara. Diawali dengan hubungan dagang antara penduduk pribumi dengan pedagang Arab, Persia, India dan Cina, penduduk Nusantara juga mengenal dan mengikuti agama dan madzhab yang mereka anut. Dalam kerangka ini kaum sayid yang berasal dari Hadramaut (Hadrami) mengambil peran penting dalam membangun model keberagamaan penduduk nusantara, karena selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam dan membangun tradisi. Mereka ini umumnya menganut madzhab Syafi’i dan mendominasi corak keIslaman pesisir Samudera Hindia (Alatas, 2010: xxxi).

Secara harfiyah, Ahlu Sunnah wal Jama’ah, adalah para pengikut tradisi Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ijma’ ulama. Istilah ASWAJA sering digunakan untuk menyebut kaum atau komunitas yang menganut paham teologi (kalam) Asy’ariyah- Maturidiyah, menganut fiqh empat madzhab, utamanya Syafi’iyah dan tasawuf mengikuti pola pemikiran Imam al- Ghazali dan Syaikh Junaid al Bagdadi. Dahulu, mereka yang berpandangan seperti ini adalah orang-orang Nahdhatul Ulama (NU). Kaum NU inilah yang disebut dengan ASWAJA. Doktrin ASWAJA juga menjadi ciri utama dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan kader organisasi seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Muhammadiyah, Persatuan Islam, Syarikat Islam, Al Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, meski jelas-jelas menganut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah disebut sebagai kaum ASWAJA. Sebabnya, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi tersebut dalam pemahaman dan pengamalan Islam lebih menekankan kepada kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, menolak taklid kepada ulama, pemurnian aqidah, dan pengamalan tasawuf tanpa tarekat (Azra, 2012: xiii). Sementara itu, NU sebagai pendukung ASWAJA, menambah praksis ibadah dengan taqlid kepada ulama, mengamalkan apa yang disebut dengan fadha’il al-a’mal, dan tarekat. Faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam pandangan kyai di Jawa memiliki pengertian yang lebih sempit, tidak hanya untuk membedakan dengan faham dan penganut Syi’ah tetapi juga untuk membedakan dengan kelompok Islam modernis.

Perbedaan antara kelompok ASWAJA dengan kelompok modernis pada waktu lalu memang cukup tajam. Aswaja sering kali juga disebut “aliran lama” yang dianut oleh “kaum tua” berhadapan dengan “aliran baru” dengan penganut “kaum muda”. Di Jawa, kaum tua disebut “kaum kolot”. Antara kaum tua dan kaum muda pernah terjadi perselisihan seperti terjadi di Sumatera Barat. Beberapa daerah di Jawa juga terjadi perselisihan faham atau aliran “kolot versus baru” di Kudus Jawa Tengah (1926) dan juga di Babat, Jawa Timur karena masalah sepele, perjodohan antar anggota organisasi yang berbeda (Pijper, 1984: 101-152). Tetapi dalam tiga puluh tahun belakangan, telah terjadi konvergensi antara kelompok ASWAJA dengan modernis. Banyak pengikut NU atau Aswaja, terutama di perkotaan yang mengikuti praktik ibadah salat Tarawih 8 rakaat dan salat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan. Sebaliknya, penganut “aliran baru” juga tidak menolak diajak “istighosah”, selamatan dengan membaca tahlil dan surat Yasin. Sekat budaya (cultural barrier) yang memisahkan keduanya telah runtuh. Hal itu disebabkan terjadinya dialog wacana dan dialog kehidupan yang intensif antara keduanya. Munculnya generasi muda dari kedua belah pihak yang mengakui adanya pluralitas, sehingga muncul paham “agree in disagreement”, membuat mereka memandang perbedaan pemahaman keagamaan dalam perspektif yang luas. Pertukaran pendidikan diantara kedua kelompok ini juga terjadi secara masif. Banyak anak orang NU yang sekolah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, dan sebaliknya banyak anak Muhammadiyah yang masuk pesantren milik kyai NU.

Faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah di kalangan NU juga sudah tidak lagi sempit, isolatif, tertutup apalagi ekslusif, melainkan telah menjadi “faham terbuka” yang harus menerima pikiran-pikiran dari luar yang mengayakan (Ismail, 2004:131-134). NU dan Muhammadiyah sepakat bahwa keduanya adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak lagi menempatkan pertarungan politik sebagai tujuan yang dominan. Bahkan dalam perkembangan pemikiran keagamaan, kedua kelompok ini telah menerima Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final ( Ismail, 2001: 245-265). Ketegangan diantar kedua penganut faham keagamaan ini pernah kembali muncul seiring dengan ketegangan politik era reformasi yakni penurunan Gus Dur ( K.H. Abdurrahman Wahid) sebagai presiden oleh kelompok lawan politik yang dipimpin oleh Amin Rais, yang kebetulan tokoh Muhammadiyah.

ASWAJA pada masa orde baru (era pembangunan) memang mengalami perubahan dari pemahaman yang sempit menjadi semakin terbuka. Sebelumnya hanya menjadi faham anutan “kaum tua”. Beberapa saat setelah era reformasi kelompok Salafi (sebelumnya lebih dikenal Wahabi) juga mempropagandakan kelompoknya sebagai penganut ASWAJA. Bahkan dalam kerangka solidaritas kelompok dan politik keumatan, kaum Salafi membangun Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib. Pria keturunan Arab Hadrami non sayid ini, memperoleh pendidikan dan pengajaran dari lingkungan al Irsyad dan Persatuan Islam, dua organisasi Islam yang menganut faham Salafi (puritan). Selesai mempelajari agama di Indonesia hingga Afganistan, Ja’far kembali ke Indonesia mengembangkan ajaran Salafi dan kemudian melakukan mobilisasi politik dengan membentuk FKAWJ sebagai organisasi payung bagi Laskar Jihad yang ia pimpin untuk membantu kaum muslimin dalam konflik Maluku dan Ambon ( Hasan, 2008). Selain kelompok Ja’far Umar, beberapa alumni Timur Tengah di Indonesia, utama alumni Saudi Arabia, aktif dalam dakwah dengan bendera Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mendirikan radio dan televisi dengan nama Radio Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang disingkat menjadi “Roja” Jadi ASWAJA sekarang ini benar-benar sebagai nama yang diperebutkan oleh banyak kelompok. Padahal, dahulu hanya orang-orang NU yang menyebut dirinta ASWAJA.

Faham dan gerakan Salafi pada masa kini juga mengklaim dirinya sebagai ASWAJA, padahal dalam hal furu’ mereka berbeda dengan kelompok NU. Mereka tampil beda dengan mengenakan jubah panjang (jalabiyah), sorban (imamah), celana yang menggantung (isbal) dan memelihara jenggot (lihyah). Perempuannya mengenakan pakaian hitam-hitam yang menutupi semua tubuh dan wajah mereka, kecuali mata. Jika menyelenggarakan walimah, undangan dipisahkan dengan tabir antara laki-laki dan perempuan. Khutbah, ceramah dan pengajian yang mereka lakukan selalu dimulai dengan iftitah yang standar dan sama, mengacu pada iftitah khutbah Nabi SAW. Oleh banyak ahli, kelompok ini disebut gerakan neo-fundamentalism non-revolusioner ( Atho Mudzhar, 2012: 24). Menurut Mudzhar, Salafisme kontemporer merupakan Wahabisme yang dikemas ulang mengikuti pikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Andul Wahab serta merujuk kepada pemegang otoritas fatwa Wahabi kontemporer seperti Abdul Azis bin Abdullah bin Baz (1912-1999) dan Muhammad Nasirudin Al-Bani (W. 1999). Persaingan dan perebutan pengaruh faham ASWAJA dan gerakan Salafi menjadi-jadi setelah Perang Teluk tahun 1990. Diantara mereka yang baru pulang belajar dari pusat-pusat Salafi di Timur Tengah (Saudi, Yaman, Pakistan) kembali ke Indonesia berebut sebagai wakil sah gerakan itu. Akibatnya, perpecahan dan konflik tidak dapat dihindari dan kemudian lahirlah Salafi Sururi (Jihadis) yakni kelompok yang mengikuti Muhammad bin Surur al-Nayef Zynal Abidin seorang tokoh oposan terhadap pemerintah Saudi Arabia. Salafi non Sururi (Salafi Dakwah) pengikut Bin Baz, Al Bani dan Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. Wawancara kami dengan tokoh Salafi non Sururi menunjukkan bahwa diantara mereka terjadi ketegangan. Berebut kebenaran atas nama agama. Salafi Dakwah menganggap lawannya, kelompok Salafi Sururi atau Salafi Jihadis sebagai “khawarij” dan sesat pikir.

Lantas, di mana posisi ISIS dalam konstelasi tersebut di atas? Apakah klaim sunninya benar? ISIS pimpinan Al Bagdadi, sebelumnya adalah pimpinan Al Qaidah Irak. Sebagaimana kita ketahui Al Qaidah adalah gerakan yang mengusung paham radikal dan karenanya menafikan “liyan” dan bahkan menyebut sebagai kafir. Bagi mereka orang yang sudah diputus kafir boleh diperangi atau dibunuh. Inilah yang harus kita cermati. Kita bangsa Indonesia yang mempunyai Dasar Negara Pancasila, jelas terlarang “mengikuti” jejak ISIS yang barbar, yang bersebrangan dengan sifat Arrahman dan arrahim Allah. Klaim Al-Baghdadi sebagai khalifah Islam juga tak bisa dibenarkan karena basis kekhalifahan adalah umat (Islam), bukan bangsa. Para pengusung ide khilafah, seperti Huzbut Tahrir tidak dapat menerima kekhalifahan Al Baghdadi karena cara pengangkatan khalifah tidak memenuhi ketentuan syari’at. Bagi bangsa Indonesia yang umumnya juga menganut madzhab sunni, pandangan dan gerakan ISIS juga tidak sesuai bahkan bertentangan. Saat ini, ketika dunia sudah terdiri dari berbagai bangsa dan negara yang penduduknya meliputi berbagai agama, klaim kekhalifahan menjadi ahistoris. Negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan berbicara dalam satu bahasa, nyatanya menganut berbagai sistem pemerintahan seperti republik, emirat, kerajaan dan Republik Islam. Dalam konteks inilah kenapa Menag Lukamn Hakim Saifuddin melarang bangsa Indonesia berbai’at ke ISIS. Indonesia adalah negara bhinneka dan Pancasila adalah dasar negara yang sudah final.

* Tulisan ini terbit di Koran Sindo edisi senin 11 Agustus 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *