Home > Artikel > Agama Sebagai Faktor Pemersatu Bangsa: Peran FKUB Dalam Integrasi Nasional
Artikel

Agama Sebagai Faktor Pemersatu Bangsa: Peran FKUB Dalam Integrasi Nasional

Oleh: KH. Ahmad Syafi’i Mufid

Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta

Agama dan Integrasi Bangsa

Agama bagi bangsa Indonesia merupakan identitas primordial, sebagaimana suku, ras dan golongan. Agama dalam sejarah nusantara telah menjadi jati diri utama, yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Buktinya, diawali dengan tumbuh kembang kerajaan Kutai, Tarumanegara, Mataram (Hindu) , kerajaan Sriwijaya (Budha), Kediri, Singosari, Majapahit (Hindu) dilanjutkan dengan Samodra Pasai, Bintoro, Ternate Tidore, Mataram (Islam) dan berakhir dengan era kolonial. Puncak-puncak kebudayaan bangsa dengan terbentuknya kesatuan politik yang bernama negara Indonesia juga berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Keanekaan agama dan sukubangsa ternyata tidak menjadi penghalang lahirnya kesatuan bangsa dan negara. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, merupakan bukti bahwa pemuda lintas etnik dan agama mampu mewujudkan keanekaragaman suku dan agama menjadi satu bangsa, satu nusa dan satu bahasa yakni Indonesia. Kaum agama, khususnya tokoh pergerakan Islam, pada saat sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juga dapat menempatkan posisi agama sebagai nilai, moral dan norma berbangsa dan bernegara, dan tidak memaksakan ajaran dan keyakinan Islam sebagai sumber hukum tata negara dan pemerintahan. Di sisi inilah agama memiliki fungsi positif dalam integrasi nasional.

Integrasi nasional sangat dipengaruhi oleh visi pemerintahan sebagai pelaksana kekuasaan negara. Pada awal era kemerdekaan, lahir beberapa pemberontakan daerah. Di mulai di Jawa Barat oleh DI/TII, Sumatera oleh PRRI, Sulawesi oleh Permesta dan Maluku oleh RMS. Salah satu sebab pemberontakan tersebut adalah masalah distribusi kekuasaan dan keadilan disamping tentu saja kesejahteraan. Ancaman disintegrasi juga muncul pada masa reformasi dengan wacana dan tuntutan sparatisme yang dapat ‘diselesaikan’ melalui kebijakan otonomi khusus. Ketika pemerintah sedang memperkuat integrasi nasional pasca reformasi, hubungan kerukunan antarumat beragama mengalami penurunan dengan munculnya berbagai konflik. Ada konflik etnik seperti Ambon, Maluku, Kalimantan, Poso. Konflik pendirian rumah ibadat di Jabodetabek, Papua, NTT, dan beberapa provinsi lainnya. Kekerasan mengatasnamakan agama dalam bentuk radikalisme dan terorisme juga marak terjadi sejak 2002 – 2011. Menurut Maswadi Rauf, fenomena seperti di atas menunjukkan kenyataan sosiologis yang bersifat universal, bahwa konflik sosial merupakan bagaian tak terpisahkan dalam hubungan sosial. Interaksi sosial negatif, yakni hubungan sosial yang tidak mampu memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat. Ketimpangan manfaat tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan dan perselisihan, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya gangguan sosial (Bahar dan Tangdililing, 1996:xi).

Memudarnya Kearifan Lokal dan Lahirnya Pranata Baru

Kearifan lokal yang sebelum masa reformasi sangat berperan dalam menjaga harmoni bagi masyarakat lokal, kini tidak lagi fungsional. Beberapa pranata seperti ‘pela gandong’, ‘rumah betang’, ‘reriyungan’ dan ‘selamatan’ sudah tidak memadahi lagi untuk memelihara dan menjaga integrasi masyarakat. Modernitas dan globalisasi informasi mendorong terwujudnya relasi sosial yang anomin. Solidaritas sosial cenderung bersifat organis dan tidak lagi bersifat mekanik. Emile Durhkeim dalam bukunya The Division of Labor menjelaskan; solidaritas mekanik didasarkan atas persamaan dan kesadaran kolektif yang masih sangat menghormati nilai-nilai keagamaan. Solidaritas organis cenderung menghapuskan konsep kolektifitas. Dalam solidaritas organis terdapat pembagian kerja yang jelas dan terstruktur yang tidak berkelompok sebagai segmen-segmen dalam solidaritas mekanik. Individualisme menjadi orientasi kerja meskipun kerjasama juga sebagai keharusan tetapi tujuannga adalah untuk kepentingan atau keuntungan individu masing-masing. Penghargaan sebuah prestasi lebih diwujudkan dalam bentuk uang atau materi yang bernilai uang. Kearifan lokal dalam masyarakat tidak lagi mengikat prilaku sosial warga masyarakat. Meskipun demikian, maraknya konflik sosial, mendorong warga masyarakat kembali kepada norma dan nilai komunitas.

Sistem pemilu yang diperkenal di Indonesia saat ini adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan pembangunan politik atas dasar preferensi individu. Dalam pemilu kepala daerah atau pemilu nasional mereka yang berinteraksi adalah individu-individu otonom. Masing-masing mereka memiliki preferensi sendiri-sendiri, one man, one vote, one voice. Budaya baru yang memposisikan individualisme sebagai nilai, norma dan tatanan baru yang mendapatkan pembenaran atas nama prisip-prisnip demokrasi, hak asasi manusia dan modernitas. Contoh yang paling aktual adalah rekruitmen pemimpin pada level kabupaten/kota, provinsi dan nasional sangat ditentukan oleh politik uang (money politic). Dalam pengertian yang positif, ongkos untuk pencalonan anggota DPRD kabupaten/kota atau provinsi mencapai jumlah ratusan juta rupiah. Untuk menjadi anggota DPR/DPD menghabiskan dana lebih dari satu milyar. Apalagi menjadi bupati/walikota dan gubernur. Fenomena ini menunjukkan uang sebagai kapital lebih utama ketimbang human capital itu sendiri dan sosial capital. Politik uang dan biaya mahal dalam pemilu berdampak pada kecurangan, banyak calon legislatif yang stres dan dendam politik pada sebagaian elit. Modal (uang), kekuasaan (politik) dan pasar (ekonomi) yang terpusat pada sekelompok orang, juga mendorong timbulnya prasangka, persaingan dan pertentangan atau konflik.

Konflik sosial yang marak terjadi di hampir seluruh kawasan Indonesia terkait dengan Pilkada merupakan bukti, betapa persatuan Indonesia pada saat ini berada pada posisi rawan dan terancam. International Crisis Group (ICG) mencatat sekitar 10 persen dari 200 pemilihan umum kepala daerah yang digelar sepanjang tahun 2010 diwarnai aksi kekerasan (Gudang Ilmu Sosiologi: blokspot.com/2013/01/konflik-dalam pilkada). Ketika kerawanan dan konflik sosial muncul, negara kembali mengundang tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengambil peran strategis dalam penanganan pertentangan tersebut (lihat Undang-Undang No.7 tahun 2012) tentang Penanganan Konflik Sosial). Pasal 13 ayat 1-2 UU No.7 tahun 2012 menyatakan bahwa penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Polri. Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat. Tokoh agama juga sebagai anggota satuan tugas penyelesaian konflik sosial sebagaimana diatur dalam pasal 42 dimana tokoh agama merupakan salah satu unsur masyarakat pasal 47 ayat 3 undang-undang tersebut.

FKUB dan Integrasi Bangsa

Konflik sosial juga terjadi dalam hubungan antarumat beragama dan intern umat beragama. Badan Litbang Departemen Agama mencatat bahwa konflik antarumat beragama bersumber pada sebab-sebab agama dan sebab non agama. Konflik antarumat beragama disebabkan oleh agama sebagian besar terkait dengan penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat. Sikap pemerintah saat itu adalah mencoba untuk mengatur bagaimana agar tidak terjadi konflik, maka keluarlah Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 1969. SKB ini intinya mengatur tentang ijin untuk mendirikan rumah ibadat. Sepuluh tahun kemudian juga muncul SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 1979 yang intinya mengatur tentang penyiaran agama dan bantuan tenaga keagamaan. Sebelum SKB No.1 tahun 1969 dikeluarkan, pemerintah juga telah melakukan musyawarah antar pemimpin umat beragama pada tanggal 30 Nopember 1967 yang gagal menyepakati anjuran Presiden agara tidak melakukan penyiaran agama terhadap penduduk yang telah menganut agama tertentu. Kedua peraturan menteri ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik. Di samping itu, untuk kepentingan penanganan konflik, pada tahun 1980 pemerintah mengeluarkan surat keputusan pembentukan wadah musyawarah antaragama. Peraturan ini bertahan hingga era reformasi dan pada tahun 2006 keluar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 tahun 2006. Peraturan ini merupakan penyempurnaan SKB No.1 tahun 1969. Penyempurnaan yang dimaksud, mencakup ruang lingkup tugas pemerintah daerah dalam memelihara kerukunan, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan pendirian rumah ibadat.

Saat ini FKUB telah berdiri di seluruh provinsi dan lebih dari 500 kabupaten dan kota. Tugas melakukan dialog, menampung aspirasi dan menyalurkan aspirasi, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang kerukunan dan pemberdayaan masyarakat serta memberikan rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat. Awalnya banyak yang pesimis melihat peran lembaga baru ini. Sekarang FKUB telah menjadi bagian dari institusi yang mengintegrasikan bangsa lewat peran edukasi, advokasi dan silaturrahmi antartokoh agama.

(Materi ini disampaikan pada acara FGD Pra Rapimnas DPP LDII)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *