Gara-gara terganggu suara adzan, perempuan warga keturunan marah-marah dan melabrak imam masjid Al Maksum Tanjung Balai. Massa pun tersinggung oleh sikap perempuan itu dan peristiwa amok massa terjadi sebagaimana diberitakan oleh berbagai media. Seperti biasa, setelah terjadi peristiwa berbau SARA barbagai organisasi sosial termasuk LSM memberikan pernyataan yang isinya mengutuk kejadian tersebut. Para pengamat pun sibuk memberikan penilaian dan uraian macam-macam dan setelah itu masyarakat kembali tenang.
Peristiwa yang mirip kasus Tanjung Balai telah terjadi banyak sekali, tak terhitung jumlah sepanjang Indonesia merdeka. Kerusuhan yang katanya berlatar belakang suku, agama, ras dan golongan juga sudah banyak diteliti, baik di masa kolonial, pasca kemerdekaan, masa orde baru dan masa kebebasan seperti peristiwa Ambon, Poso, Sambas, Sampit dan tempat-tempat lainnya. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan sebab-sebab kerusuhan dan merekomendasikan apa yang harus dilakukan. Apa yang salah dengan temuan dan rekomendasi penelitian? Kasus yang sama terus berulang, mengapa?
Kita tidak sekedar membuat pernyataan dan kutukan terhadap pelaku kerusuhan, tetapi juga berusaha dan berdoa semoga tidak ada lagi kerusuhan sosial di negeri tercinta. Kita juga tidak ikut latah menunjuk penyebab kejadian tersebut dan menyebut sebab tunggal, masalah agama misalnya. Ada banyak faktor penyebab. Biasanya primordialisme dituduh sebagai penyebab, padahal banyak penelitian menunjukkan penyebab kerusuhan sosial sesungguhnya adalah wujudnya dominasi baik verbal maupun simbolik suatu kelompok terhadap kelompok yang lain dalam masyarakat. Pengaktifan simbol-simbol dan intentitas kelompok tertentu dalam ruang publik juga selalu menyinggung perasaan kelompok lainnya. Dalam relasi sosial yang tidak harmonis dan asimetris semacam inilah yang menjadi akar masalah sosial yang sesungguhnya di Indonesia sepanjang masa.
Mengapa sebagian dari kita masih saja arogan dan merasa benar dengan sepak terjang yang menyakitkan kelompok lain terutama kaum miskin dan marginal? Anggapan adanya kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan elit ketimbang kepedulian terhadap mereka yang miskin seperti penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha tanpa ganti, menimbulkan kebencian dan dendam. Ketidakadilan bagi orang kecil, dan keberpihakan kepada mereka yang memiliki modal, membuat hati masyarakat bawah semakin pilu. Kepada siapa nasib ini harus diadukan dan siapa yang peduli. Kesulitan hidup dan kekesalan perasaan inilah yang akhirnya ditumpahruahkan kepada siapa-siapa yang menurut prasangka mereka diuntungkan dalam kondisi sosial yang demikian. Kelompok yang paling dianggap lemah pasti menjadi sasaran pertama, sedangkan sasaran akhir sesungguhnya kemarahan itu ditujukan kepada para pemegang kekuasaan.
Peristiwa Tanjungbalai mengingatkan kita kepada peristiwa yang sama sekitar 1996-1998. Kerusuhan sosial terjadi di mana-mana termasuk yang terjadi di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Ada apa dengan Vihara dan orang Tionghoa di wilayah kecil itu? Mengapa terjadi amok dan vihara serta orang Tionghoa menjadi korban? Padahal hubungan antarwarga pendatang dan penduduk asli telah terjalin lama. Di Rengssdengklok stratifikasi sosial ekonomi juga tidak jauh jaraknya antara penduduk asli dan pendatang. Mereka juga hidup sebagai petani dan pedagang.
Ternyata konflik sosial pada masa akhir orde baru itu berkembang menjadi konflik politik dengan tumbangnya sebuah rezim yang dibangun dengan susah payah selama tiga dasawarsa. Jadi persoalan kerusuhan sosial bukan semata-mata masalah toleransi beragama tetapi masalah psikologi sosial yang berkembang dari perasaan keadilan dan kesejahteraan yang masih jauh dari harapan. Kita menyesal atas kejadian Tanjung Balai dan kita akan lebih menyesal bila kejadian tersebut terulang.
Jangan salahkan agama dan orang beragama. Kerakusan harus diatur dan dibatasi, keadilan harus ditegakkan kepada siapa saja yang melanggar hukum, peraturan dan kesepakatan sosial.
Bekasi, 31 Juli 2016
Ahmad Syafi’i Mufid