Dia Yang Dicari – (Syair Maulana Jalaluddin Rumi)
Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.
Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua. Di tempat itu tidak ada tanda-tandanya.
Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar. Aku melihat. Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.
Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf. Di sana hanya hanya ada sarang burung ‘anqa.
Aku pergi ke Ka’bah. Dia tidak ada di sana. Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:
Dia diluar jangkauan filosuf ini…..
Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri. Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.
Dia tidak di tempat lain !…………………………..
(Dikutip dari buku, Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi. Idries Shah, Penerbit Risalah Gusti, Cetakan I Tahun 2000)
Han Kung (1928-), seorang pastur Katolik, profesor ecumenical teologi dan pengarang banyak buku, juga Presiden The Foundation for Global Ethic, dalam kata pengantarnya terhadap buku Paul F.Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab Global menyatakan, dunia bisa mencapai perdamaian dan keadilan yang lebih besar hanya jika semua agama secara bersama bisa mengakui secara minimal nilai, norma, prinsip-prinsip dasar dan kesempurnaan yang terdapat dalam semua agama. Agama-agama dunia harus mengakui tanggung jawab untuk bekerja sama untuk keadilan secara menyeluruh, perdamaian yang lebih abadi, dan hubungan yang lebih langgeng dengan ekosistem, dari pada membuat pemisah satu dengan yang lain (yang mengakibatkan munculnya kaum fundamentalis dan fanatik).
Syair Rumi dan pandangan Han Kung ini dapat kita jadikan titik tolak untuk membangun dialog agama dan perdamaian. Bagi Rumi perdamaian itu ada di hati kita masing-masing, bukan dalam simbol-simbol keagamaan yang selama ini kita anggap suci. Hati yang suci, tercerahkan, tidak mengusung dendam dan permusuhan, dapat menjadi cermin akan adanya nilai-nilai, norma dan prinsip-prinsip kesempurnaan yang berasal dari yang Abadi. Kesadaran akan hakikat kehadiran para penganjur agama tertua, membawa kita kepada sebuah pengalaman sejarah bahwa mereka datang untuk satu tujuan yaitu damai-damai (salam). Dia menyapa manusia, dia menyapa alam dan dia mengajak mengenali Tuhan dan berbakti kepadaNya. Sementara, sebagaimana doktrin agama-agama, di luar sana ada kekuatan jahat. Apakah itu bernama Azazil, Iblis, Setan, roh jahat, Lucifer, dan sebagainya yang selalu mempengaruhi jiwa manusia untuk bermusuh-musuhan, saling menghancurkan, menumpahkan darah dan pemusnahan.
Pesan Rumi dan Han Kung dan juga yang lain (tidak dikutip) perlu terus dikembangkan oleh semua hamba Tuhan yang terpanggil sebagai ulama, pendeta, pastor, pedande dan hatsu serta pemimpin lainnya. Untuk apa? Memenuhi panggilan memuliakan kemanusian dan keseimbangan eko sistem kita yang dari waktu ke waktu terus mengalami “penghancuran” adalah tugas para pemimpin dan pemuka agama. Praksis teologi, seperti yang dipelopori oleh bapak suci kaum Katolik, Paus Fransiskus, menjadi mediator perdamain dunia (Israel dan Palestina), pandangannya terhadap penistaan pemimpin agama seperti kasus majalah Charlie Hebdo, dan tindakannya yang tegas dalam menjaga moralitas komunitas, merupakan petunjuk betapa pentingnya kesadaran akan Dia yang ada di hati. Ucapan dan tindakan yang membawa kepada damai (salam) adalah suara Dia (Tuhan) di dalam diri kita. Sebaliknya, prasangka buruk, dendam, dan permusuhan adalah suara Iblis yang memang memiliki misi memisahkan manusia dengan Tuhannya. Misi Iblis dapat kita kenali melalui prilaku ISIS di Irak dan Syria, fundamentalis di India, Sri Langka, Burma, Amerika dan banyak negara lainnya. Di Indonesia, fundamentalisme agama juga masih merupakan gejala yang bersifat laten dan manifes.
Belajar dari pengalaman sejarah panjang “perang dan damai” antar anak Adam di muka bumi, Indonesia berhasil membangun kesepakatan bersama para pemuka agama dan pemerintah untuk memelihara kerukunan. Forum Kerukunan Umat Beragama, sebuah lembaga yang dibentuk oleh majelis-majelis agama di seluruh provinsi (34 provinsi) dan 508 kabupaten/kota mengemban tugas memelihara kerukunan dan mengembangkan teologi bina-damai dalam masyarakat. Banyak pihak yang belum paham eksistensi FKUB. Mereka hanya melihat FKUB sebagai lembaga yang berwenang memberikan rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Tidak banyak yang paham kalau FKUB harus membangun dialog lintas agama, menampung aspirasi umat beragama, menyalurkan aspirasi, melakukan sosialisasi kerukunan dan perdamaian serta mengembangkan program-program pemberdayaan kerukunan dan perdamaian. Lebih dari itu harapan masa depan perdamaian melalui internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam diri anak anak Indonesia juga terancam stagnan. Harapan-harapan ini akan tetap utopis bila dikaitkan dengan perkembangan masalah integrasi, kerukunan dan perdamaian tanpa perawatan dan pemupukan. Indonesia memerlukan FKUB yang fungsional, membumi dan berfungsi sebagai lembaga bina damai. FKUB perlu kader yang mumpuni. Tidak sekedar representasi tetapi presensi, hadir, berdialog dan bergerak untuk perubahan Indonesia yang damai, sejahtera dan berkeadilan.
Menggapai Masa Depan Peran Agama dan Bina Damai
Beberapa kritik terhadap agama, seperti disampaikan Jack Nelson-Pallmeyer adalah semua agama monoistik secara inhern mengandung kekerasan. Yahudi, Kristen dan Islam akan secara terus menerus menyumbang pada kekerasan hingga tidak ada lagi tantangan keras terhadap “teks suci” dan hingga tidak ada lagi kekuatan yang menentang Tuhan ( Nelson-Pallmeyer, Jack (2005). Is religion killing us? Violence in the Bible and the Quran, Continuum International Publishing Group. P.136).Tanner mencatat bahwa pada abad XX lebih dari 25 juta orang beriman di negara-negara ateis, menderita kekerasan anti agama (The Harmful Secular Ideologies. Ames Tribune, 2011). Perang dunia adalah perang sekular yang tidak didorong oleh agama tetapi oleh ideologi non agama (PD I, PD II, civil wars (American, El Salvador, Russia, Sri Langka, China), Perang Vietnam, Korea dan perang melawan teroris (Nelson, James M, 2009. Psychology, Religion, and Spirituality. Springer. P. 427). Talal Asad, menilai pandangan yang menyamakan antara institusi agama dengan kekerasan dan fanatisme tidaklah benar. Kekejaman institusi non agama di abad 20 sangat luar biasa dahsyat. Dia juga mencatat bahwa nasionalisme juga telah dipandang sebagai agama sekuler ( Asad, Talal (2003). Formations of Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford University Press, p. 100, 187-190).
Ada tiga tesis tentang peran agama dan bina-damai. “Peace through religion alone” perdamaian hanya melalui agama saja. Artinya, tesis ini mengusulkan bahwa untuk mencapai perdamaian dunia hanya melalui pengabdian terhadap agama tertentu.“Peace without religion”, perdamaian tanpa agama. Perdamaian hanya dapat dicapai bila tanpa agama.“Peace with religion” Pendekatan ini fokus pada pentingnya koeksistensi dan dialog antariman. FKUB pada hakikatnya adalah NGO yang sangat potensial untuk membangun bina damai dan pengembangannya seperti penyelenggaraan Sekolah Agama dan Bina-Damai ( bandingkan Douglas Johnston, “Faith-Based Organization: The Religious Dimension of Peacebulding.” in People Building Peace II: Succesful Stories of Civil Society, Paul van Tongeren, et al (Boulder, CO: Lynne Reiner, 2005), p.209-218.
Sekolah Agama dan Bina-Damai yang digagas oleh FKUB DKI Jakarta memilik visi menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan anggota dan calong anggota FKUB. Misinya, memberikan pengetahuan tentang agama dan ajaran bina-damai. Memberikan pendidikan & pelatihan penanganan perselisihan disebabkan oleh faktor sosial keagamaan. Memberikan fasilitas pengalaman hidup bersama dalam perbedaan. Pendidikan dan Pelatihan Agama dan Bina-Damai ini mencakup bidang-bidang sebagai berikut: (1). Kajian tentang ajaran perdamaian dalam agama-agama, (2). Pemahaman terhadap tugas-tugas Forum Kerukunan Umat Beragama. (3). Keterampilan penanganan masalah kerukunan umat beragama (manajemen konflik dan resolusi konflik). (4). Hidup bersama dalam keluarga berbeda keyakinan agama.(5). Pengembangan dan pelatihan analisis sosial, dan perencanaan sosial.
Penutup
Beberapa pertemuan lintas iman dan lintas tokoh agama senantiasa memunculkan ide-ide segar. Setiap kita merasakan betapa penting arti dialog tersebut. Dialog memang sangat penting. Namun untuk tujuan besar membangun dunia yang satu untuk semua bukan pekerjaan mudah. Jakarta untuk semua juga ternyata nyaris sulita digapai. Beberapa pemimpin komunitas agama di Jakarta mengusulkan kepada FKUB agar melanjutkan dialog-diolog wacana dikembangkan menjadi dialog karya. Pertemuan-pertemuan dan kegiatan FKUB sendiri sudah dapat disebut sebagai dialog karya. Lagi-lagi, melihat peran yang dapat dilakukan oleh FKUB, pimpinan komunitas mendorong dilakukan dialog karya yang lebih bermakna. Itulah SABDA, Sekolah Agama dan Bina Damai yang sedang diinisiasi oleh kita semua. Mohon dukungannya!
Ahmad Syafi’i Mufid