Hari raya Nyepi dan hari-hari raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyavdaran dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari-hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi lebih banyak pada segi tattwanya.
Secara tattwa sesungguhnya Dewa dan Kala itu bersemayam pula pada diri kita. Sifat-sifat lembut, tenang, pengasih, dan sebagainya adalah sifat-sifat dewa. Sebaliknya sifat-sifat keras, bengis kejam dan sebagainyaadalah sifat-sifat Kala. Kala harus diteduhkan sehingga yang hadir dalam diri adalah sifat-sifat kedewataan. Setelah alam suci, Kala teduh, maka timbulah kesepian yang berakibat ketenangan, yang diperoleh dengan mendiamkan diri. Umat Hindu mempunyai hari khusus untuk mendiamkan diri, itulah hari raya Nyepi. Pada hari ini seluruh aktivitas kerja dihentikan.
Pelaksanaan Nyepi bersesuaian dengan ajaran Yoga. Yoga mengajarkan mendiamkan gerak-geraknya pikiran yang selalu berkeliaran kemana-mana “Citta vṛtti nirodhah”. Dengan mendiamkan gerak-geraknya pikiran, maka Sang Diri akan berada pada dirinya. Pada saat-saat lain, saat melakukan kegiatan sehari-hari, Sang Diri berada diluar dirinya. Ia menyamakan dirinya dengan obyek-obyek indriya. Ia selalu gelisah, diliputi debu dan kerasnya dunia. Dalam suasana kegelisahan, maka mudahlah kita mengusai diri kita. Maka dari itu patutlah sewaktu-waktu kita mendiamkan diri agar pikiran kita menjadi jernih dan tenang untuk mendapatkan tenaga baru dalam melanjutkan tugas-tugas kita.
Nyepi sebagai hari penemuan Sang Diri, hal ini akan dapat diwujudkan bila kita benar-benar memiliki dan mengamalkan ajaran śraddhā dengan mantap dan bhakti yang tulus kepadaNya. Dalam suasana hening, ketika perut kosong, emosi, ambisi dan nafsu terkendali, pikiran diarahkan hanya untuk memuja dan merenungkan keagunganNya, seperti diamanatkan dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Tothaka) sebagai berikut :
“Śasi wimba haneng ghaṭa mesi bañu, Ndanasing śuci nirmala mesi wulan, Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin, Ringangambêki yoga kiteng sakala”.
Terjemahannya :
Sebagai bayangan bulan yang ada di dalam sebuah belanga yang berisi air, Yang setiap belanga yang airnya bersih (tanpa kotoran) berisi bayangan bulan, Seperti itulah sesungguhnya Eangkau, kepada orang yang sedang melakukan yoga Engkau dalam keadaan yang tampak.
“Katêmunta mareka si tan katêmu,Kaihidêpta mareka si tan kahidêp, Kawênangta mareka si tan kawênang, Paramārtha Śiwatwa nirāwarana”.
Terjemahannya :
Diketahuilah oleh seorang yang tidak pernah ketemukan, dapat dipikirkan oleh seorang yang tidak pernah dipikirkannya, dapat dikuasai oleh seorang yang tidak pernah dikuasainya, kebenaran ajaran Śiwa yang amat suci tampak tidak terselubung lagi.
Dalam berbagai agama maupun tradisi spiritual terdapat ajaran tentang puasa yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu oleh pengikut suatu ajaran. Secara umum tampaknya kegiatan upawasa ini ditujukan kepada suatu pencapaian sebuah peningkatan rohani, karena melalui puasa orang belajar untuk memurnikan pikirannya.
Jika pikiran semakin murni, maka anasir-anasir rangsangan panca indra yang setiap hari dominan dalam mengendalikan persepsi bisa ditekan. Akhirnya puasa memberikan kejernihan pikiran untuk menyusun persepsinya, sehingga kualitas ucapan dan tindakan pun semakin baik. Kalau sudah demikian tentu yang dihasilkan adalah karma-karma baik.
Intisari tapa brata atau puasa adalah pengendalian atau pembatasan atas dua hal yaitu pikiran dan indra-indra. Indra jumlahnya ada lima yang disebut Panca Indra. Indra mempunyai alat indra yang juga berjumlah lima yang disebut Panca Karmendriya, dan mempunyai obyek indra yang disebut Panca Tanmatra.
Kelima indra itu harus dikendalikan. Kunci untuk bisa mengendalikan indra adalah pengendalian atas pikiran. Pikiran mempunyai jangkauan yang tak terbatas, kecepatannya melebihi kecepatan cahaya, tajamnya melebihi ketajaman pedang. Kalau bisa mengendalikan pikiran kelima indra juga mudah untuk ditundukkan. Cara mengendalikan pikiran pertama pikiran harus dibersihkan dengan cara membaca atau melantunkan mantra-mantra atau sloka-sloka Veda, dan meditasi.
Dalam Kakawin Nirārtha Prakěrta ditegaskan sebagai berikut :
“Ri haneng rikanang amběk tibra alit mahěning aho,lěngit atisayasnya jñānanasraya wěkasan, swayeng umibêki tan ring rāt mwang deha tuduhana, ri pangawakira sang hyang tattwādhyātmika katêmu”.
Terjemahannya:
Ketika pikiran telah tenang halus suci, akhirnya menemui kebebasan dan hening, lalu dengan serta merta meliputi seluruh jagat, serta tidak terlukiskan lagi, akhirnya ia bersatu dengan Sang Hyang Tattwādhyātmika (kebenaran sejati).
Oleh: Prof. Dr. Surada – Anggota SABHA WALAKA PHDI PUSAT