KH. Ahmad Syafii Mufid – Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta
“Mengambil Pelajaran Dari Ajaran Kong Hu Cu Dalam Memilih Pemimpin Transformatif”
Pada tanggal 6 Februari 2014 bertempat di kantor Syarikat Islam Indonesia Jl. Taman Amir Hamzah No. FKUB Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang dikemas dalam bentuk dialog lintas agama. Hari ini, 25 Februari 2014 kita kembali bertemu untuk menyelenggarakan peringatan tahun baru Imlek 2565. Sama seperti peringatan hari besar keagamaan sebelumnya, maksud dan tujuan kita merayakan Imlek adalah dalam rangka pengembangan dialog lintas agama yang bertujuan untuk memperbaruhi ingatan kita tentang tokoh-tokoh besar yang berhasil mengubah dunia. Tokoh dunia, seperti Kong Hu Cu, telah terbukti mampu memberikan pelajaran masyarakat Tionghoa khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya tentang tata hidup bermasyarakat.
K’ung Fu-Tze (551-479 sebelum Masehi), di kabupaten Lu, yang sekarang berada di provinsi Shantung. Huston Smith menulis, Kong Hu Cu lahir dari keluarga sederhana dan hidup dengan kesederhanaan pula. Untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa kecil beliau mencari nafkah sendiri, mula-mula dengan kerja kasar. Penderitaan dan kemiskinan sejak masa muda tersebut menyebabkan beliau merasa mempunyai ikatan dengan orang kebanyakan. Setelah usia 15 tahun, beliau memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan pada usia 20-an telah menjadi guru privat dan pegawai pemerintahan. Selanjutnya beliau bekerja pada dunia pemerintahan. Karena itu beliau juga dikenal sebagai ahli pemerintahan yang oleh bangsa Cina, beliau dipandang sebagai guru, filosuf dan nabi. Orang Cina menyebutnya dengan penuh hormat sebagai guru pertama, bukan karena tidak ada guru sebelum beliau melainkan karena martabat beliau lebih tinggi dari semua guru yang lain. Beliau sendiri sangat rendah hati karena pembaharuan-pembaharuan yang beliau lakukan terhadap kebudayaan Cina, lebih suka menyebutkan dirinya sebagai “pecinta barang antik”. Beliau menyebarkan semangat pembaharuan dalam tata hidup masyarakat Cina dengan menekankan bahwa baik kalangan bangsawan maupun kalangan bawahan, masing-masing memiliki posisi atau kedudukan tersendiri. Pandangan inilah yang kemudian berkembang menjadi falsafah dasar agama Kong Hucu atau Konfusianisme. Pada masa dinasti Sung (960 Masehi-1279) ajaran Kong Hu-Cu mengalami pembaharuan berupa Neo Konfusianisme, yang lebih menitikberatkan pada keharusan menuntut ilmu selain masalah-masalah rohaniyah dan meditasi ( Insiklopedi Indonesia Edisi Khusus, Jilid 4 hlm 1917).
Penghormatan bahkan pemujaan kepada beliau bermula sejak wafatnya. Perhatian terhadap pikiran-pikirannya terlihat sampai dengan 2000 tahun sesudahnya. Tiap pagi anak sekolah Cina akan memberi salam dengan kedua belah telapak tangannya yang tergenggam kepada sebuah papan kecil yang bertuliskan nama Konfusius, sehingga ucapan-ucapan tersebut telah menjadi bagian dari cara berfikir Cina. Pemerintahan Cina, menurut Huston Smith juga sangat dipengaruhi oleh Konfusius dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Banyak pengamatan yang memandang ajaran Konfusius sebagai suatu kekuatan intektual terbesar dari seperlima penduduk dunia. Kebesaran beliau dapat ditelusuri dari lima ajarannya yang terkenal. Pertama Jen yang berarti kebaikan dari manusia kepada manusia lainnya. Kedua, Chun-tzu yang berarti kemanusian yang benar, manusia yang sempurna, kemanusian yang terbaik. Ketiga, Li yang berarti kesopanan, juga berarti jalan tengah untuk hidup yang baik (chung yung). Pandangan ini di Barat dikemukakan oleh Arestoteles “jalan tengah agung” dan oleh Nabi Muhammad SAW “ umatan wasatan”. Keempat Te yang berarti kekuatan untuk memerintah manusia. Kong Hu Cu tidak sepakat dengan kaun Realis yang menyatakan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif satu-satunya cara adalah dengan kekerasan. Sejarah membuktikan kebenaran Kong Hu Cu, dan paham penegakan pemerintahan dengan cara kekerasan adalah salah. Konsep terakhir, kelima, adalah Wen yang berarti “seni perdamaian” yang berlawanan dengan “seni berperang” Huston Smith, Agama-Agama Manusia, 2008). Sejarah kelam hubungan antarperadaban (konflik, perang dan pemusnahan) selalu datang silih berganti. Semua orang mengcam dan menyesali perbuatan itu. Di tengah-tengah perang peradaban selalu muncul kisah kepahlawanan dalam bentuk perdamaian sebagaimana dilakukan oleh Santo Fransiskus dari Assisi versus Sultan Malik al Kamil dari Mesir pada 1219 yang dapat mengakhiri perang salib yang telah berlangsung dua abad (Paul Moses, The Crusades,Islam, and Francis of Assis’is Mission of Peace, 2009).
Indonesia mesti belajar kepada Kong Hu Cu dan juga tokoh-tokoh dunia yang lain. Mengapa demikian? Pertama, kita memiliki Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara yang juga merupakan “jalan tengah”, tetapi seringkali disalahpahami dengan ekstrimitas pemahaman. Jalan tengah yang pernah dicoba oleh Bung Karno dengan Nasakom gagal total karena ada unsur yang ingin memaksakan paham dengan hegemoni ideologi komunisme. Ideologi agama yang ditawarkan oleh SM Kartosoewiryo juga tidak bisa diterima oleh bangsa Indonesia, sekularisme asertif yang pernah diterapkan pada awal orde baru juga gagal. Sebagai bangsa, kita sudah kehilangan banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan. Lahirnya Cina modern, Korea, India, Brasilia hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia. Sekedar untuk membangkitkan semangat, kemajuan apa saja yang telah dicapai oleh negara-negara tersebut jika dibandingkan dengan Indonesia? Kita tertinggal, bahkan oleh negara kecil tetangga kita seperti Singapura, Malaysia, Brunei dan disusul pula oleh Vietnam. Inilah tantangan yang kita hadapi bersama, yakni membangun “jiwa dan raga” untuk Indonesia Raya.
Membangun serbuah bangsa dan peradaban diperlukan pemimpin dengan sistem kepemimpinan yang terukur. Sistem demokrasi adalah jawaban yang kita pilih. Namun sayang, kita gagal memilih pemimpin secara demokratis. Bung Karnodan Bung Hata kita pilih melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, tetapi mengapa 20 tahun kemudian kita turunkan? Jendral Soeharto kita pilih sebagai presiden 1966 dan kembali kita turunkan pada tahun 1998? Presiden Habibi secara konstitusional menggantikan presiden Soeharto, nasibnya juga kurang lebih sama, karena pertanggungjawabannya ditolak. Presiden Abdurrahman Wahid dipilih oleh MPR tetapi tragis, beliau juga diturunkan oleh MPR. Presiden Megawati menggantikan Gus Dur melalui sidang MPR, tetapi banyak pihak mengecamnya sehingga tidak terpilih pada Pemilu berikutnya. Kini Presiden SBY yang semula dielu-elukan, kita menuai kecaman dan ditinggalkan. Beginikah cara kita membangun kepemimpinan? Lebih setengah abad kita merdeka, tetapi kita sesungguhnya belum cerdas dalam memilih pemimpin. Kita tidak pernah mencari tahu siapa sebenarnya yang kita pilih sebagai pemimpin. Kita terpesona dengan iklan dan janji-janji, kita terjebak dalam pemilihan pemimpin yang bercorak transaksional. Kita percaya penuh dengan survey terkait ektabilitas dan aksebtabiltas seorang tokoh, tetapi kita paham apa itu survey dan siapa yang disurvey. Pikir dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna, itulah pepatah yang kita telah abaikan.
Pemikiran dan fakta di atas mendorong FKUB Provinsi DKI Jakarta melakukan serangkaian dialog lintas agama untuk mencari mutiara ajaran agama untuk mengenali sosok pemimpin yang ideal dan transformatif. Dengan cara demikian diharapkan FKUB dapat melaksanakan sosialisasi dan pemberdayaan kerukunan dalam pengertian yang substansial. Kalau kita berhasil melaksanakan Pemilu yang jujur, adil, cerdas dan damai berarti kita juga telah meningkatkan kualitas Pemilu legislatif dan eksekutif dengan berhasil dipilihnya pemimpin (anggota DPRD, DPD dan DPR serta Presiden dan wakil presiden) yang bersifat transformatif. Saatnya kita memilih orang-orang yang menurut keyakinan keagamaan kita terbaik dan juga telah terbukti baik dalam sejarah.
[1] Pokok-pokok pikiran disampaikan pada Imlek Lintas Agama di Mio TMII Jakarta, 25 Februari 2014