Home > Artikel > Merayakan Hari Besar Keagamaan: Mengagungkan Tuhan Memuliakan Manusia
ArtikelBerita dan Kegiatan

Merayakan Hari Besar Keagamaan: Mengagungkan Tuhan Memuliakan Manusia

Setiap tahun paling tidak kita merayakan 12 kali hari besar keagamaan. Pemerintah menetapkan hari-hari besar keagamaan sebagai hari libur nasional. Tujuannya agar umat beragama dapat beribadah dan merayakan hari besar keagamaan mereka bersama keluarga, dan komunitasnya. Ada banyak hari besar keagamaan seperti Imlek, Waisak, Nyepi, Paskah, Natal hingga Idul Adha dan Idul Fitri. Bagaiman bentuk ibadat dan masing-masing pemeluk agama melakukan ritus dan perayaan pada hari besar tersebut? Tentu berbeda tata cara ibadat agama-agama itu. Namun, mereka semua melakukan hal-hal yang sama yakni mengagungkan dan mensucikan Tuhan serta memuliakan manusia.

Dalam konteks negara Indonesia, beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing tidak saja diakui tetapi juga difasilitasi dan dilindungi. UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menyatakan hal itu. Selain konstitusi, kebebasan beribadat juga dijamin UU HAM, UU Ratifikasi Hak Sipil dan Politik serta UU Adminduk. Bentuk jaminan dan pelayanan untuk umat beragama tidak saja memberikan jaminan rasa aman, tetapi sampai persiapan perbaikan jalan dan transportasi, seperti menjelang mudik dan arus balik saat hari raya Idul Fitri dan Natal. Suasana hari besar keagamaan juga tampak hingar bingar di mal, hotel dan fasilitas publik, terutama di perkotaan. Bahkan ada kesan, perayaan hari besar keagamaan pada masyarakat perkotaan telah dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga terkesan konsumtif dan berlebihan. Kondisi seperti juga melahirkan respon negatif seperti penolakan oleh ormas keagamaan di Surabaya terhadap penyambutan datangnya hari besar keagamaan yang seperti dipaksakan, pemasangan dan pemakaian simbol-simbol keagamaan yang tidak terlalu diperlukan. Kebebasan seperti tercermin dalam merayakan hari besar keagamaan akhirnya kehilangan makna spiritualitasnya.

Mestinya, setiap datang hari raya, kita bergembira dan berbahagia bersama dengan saudara-saudara yang berbeda, baik karena suku, ras, agama dan golongan. Natal dan Idul Fitri misalnya, memberikan peluang usaha dan bisnis kepada siapa saja. Mulai dari pakaian, kuliner, transportasi, hingga barang-barang rumah tangga. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk memajukan ekonomi dan perdagangan. Pedagang dadakan (mremo-Jawa) muncul menjelang hari besar keagamaan. Idul Fitri melahirkan silaturrahmi yang dikenal dengan istilah mudik. Natal dan tahun baru dirayakan dengan ritual dan seremoni yang membahagiakan serta liburan panjang.

Sayang, akhir-akhir ini, sejak adanya ancaman dan peledakan bom menjelang Natal tahun 2000, suasana ketakutan dan   kecemasan selalu menghantui kita semua setiap menjelang Natal dan Tahun Baru. Apalagi akhir tahun 2015 ada penangkapan terhadap mereka yang akan melakukan sejumlah “konser” oleh Densus 88. Pimpinan POLRI bahkan menetapkan siaga1 untuk antisipasi keamanan. Gereja dan tempat keramaian perayaan tahun baru dijaga ekstra ketat, dan kelompok tertentu yang diawasi gerak geriknya. Sungguh situasi yang tidak kita inginkan ditetapkannya Siaga 1, tetapi harus hal itu harus dilakukan.

Bagaimana kita dapat merayakan hari besar keagamaan dengan mengagungkan Tuhan dan memuliakan manusia, bila beribadah saja harus dijaga oleh aparat kepolisian? Di sinilah perlunya ditumbuhkembangkannya toleransi yang menghasilkan harmoni sosial. Peranan FKUB sebagai lembaga pembangun dan pemelihara kerukunan umat beragama bersama kelompok kepentingan lainnya sangat vital. Penyuluhan dan sosialisasi prinsip-prinsip hidup bersama dalam kebhinekaan harus terus dilakukan oleh FKUB.
Selamat merayakan hari besar keagamaan, Maulid dan Natal 2015, semoga semuanya aman dan damai.

Ahmad Syafi’i Mufid