Oleh: Prof. DR. KH. Ahmad Syafii Mufid
Pancasila yang kita maksud dalam topik di atas adalah Pancasila sebagai dasar negara yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila sebagaimana dalam rumusan Piagam Jakarta atau Pancasila yang dipidatokan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Kalau saja proklamasi kemerdekaan jadi dilakukan pada rapat PPKI yang sedianya diselenggarakan pada tanggal 16 Agustus 1945, maka sila pertamanya akan berbunyi: ” Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta memiliki peran sentral dalam pencoretan tujuh kata yang amat terkenal itu. Maksud pencoretan itu sendiri adalah meniadakan diskriminasi dan demi Indonesia, Sabang Merauke. Pencoretan itu juga merupakan dasar utama kerukunan umat beragama.
Toleransi tidak bisa hanya diajarkan, tetapi harus dialami dan dirasakan. Kita tidak mungkin mengalami peristiwa 18 Agustus 1945, tetapi kita dapat merasakan. Bagaimana perasaan Hatta menerima telpon dari Mayjen Nishijima, pembantu Admiral Maeda bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di wilayah yg dikuasai angkatan laut Jepang berkeberatan dengan tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945. Bagaimana kita bisa merasakan ketika Bung Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr.Kasman Singodimejo dan Tengku Muhammad Hasan untuk membicarakan masalah ini dan akhirnya menyetujui pencoretan tujuh kata tersebut dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sungguh, kehidupan religius dengan kerelaan menerima keragaman ada dalam benak penduduk nusantara sejak era Majapahit yang formulasikan oleh Empu Tantular dalam Sutasoma ” Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa”. Berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjadi dasar kedua bagi kerukunan umat beragama. Nusantara sebagai mana dikatakan oleh Lombard, adalah tempat bertemunya semua kebudayaan besar dunia seperti Indianisasi Nusantara, Islam, Cina dan Barat. Oleh karena itu Sukarno menyatakan ” nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak dalam taman sari internasionalisme. Atau seperti dikatakan oleh Ghandi “saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. Dunia yang semakin terbuka (globalisme) tidak mungkin lagi mempertahankan homoginitas primordial, termasuk agama. Keadilan dan keadaban mesti menjadi pilar utama pergaulan antarumat dan dengan demikian perbedaan agama dengan segala manifestasinya mesti diterima secara terbuka. Penerimaan perbedaan primordialisme ini oleh para ulama NU dirumuskan dalam adagium “ukhuwah” wathaniah (kebangsaan) dan kemanusiaan (basariyah) setelah selesai dengan toleransi terhadap perbedaan paham keagamaan internal (islamiyah). Pandangan hidup seperti inilah yang pada tanggal 28 Oktober 1928 melahirkan Sumpah Pemuda dan pada tanggal 18 Agustus 1945 menerima Pancasila sebagai dasar negara. Selanjutnya pada tahun 1984 NU dan Muhammadiyah juga diikuti oleh ormas lainnya meneguhkan kembali komitmen kebangsaan melalui penerimaan asas tunggal Pancasila melalui musyawarah mufakat.
Sayang, pasca amandemen UUD 1945 prinsip musyawarah mufakat semakin ditinggalkan dalam pengambilan keputusan politik. Musyawarah mufakat diganti dengan pemungutan suara (voting). Pemimpin bangsa ditentukan oleh popularitas bukan oleh kualitas. Keterpilihan berkaitan dengan kertas suara dan uang kertas yang diterima. Syukurlah untuk persoalan kerukunan umat beragama, mulai dari praktik bina damai hingga rekomendasi pendirian rumah ibadat, sebagaimana diperankan oleh FKUB, voting diharamkan. Musyawarah mufakat sebagaimana sila keempat Pancasila masih menjadi dasar pengambilan keputusan.
Dinamika kerukunan yang terus berlanjut yang melibatkan komunitas agama-agama di Indonesia tidak bisa diserderhanakan dengan satu kata “intoleransi”. Bagaimana peristiwa Tolikara, Singkil, dan Tanjung Balai bisa terjadi? Apakah peristiwa itu disebabkan oleh ajaran agama atau intoleransi umat beragama atau karena perasaan tertekan, ketidakadilan dan kesejahteraan.
Jakarta, 21 Agustus 2016