(FKUB Jakarta) Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta menggelar kegiatan Dialog Kebangsaan dengan mengangkat tema “Peran Etnis Tionghoa dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia”, mengingat dalam beberapa tahun terakhir, etnis Tionghoa menjadi isu yang “sensitif” dalam perkembangan politik di dalam negeri, Selasa pagi (11/08), di Taman Budaya Tionghoa – Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Peneliti Senior LIPI Thung Ju Lan, saat menjadi narasumber pada kegiatan tersebut, mengatakan bahwa selama ini yang selalu menjadi topik pembahasan adalah tentang bernegara, sehingga barometer yang digunakan adalah politik. Dan banyaknya permasalahan muncul karena sedikit sekali mebahas negara yang berangkat dari bermasyarakat atau berbangsa.
“Kita selama ini selalu berbicara bernegara, kenapa ? kalau kita berbicara hanya politik, yaitu bagaimana membangun NKRI dan itu yang selalu didengungkan. Makanya selama ini banyak permasalahan muncul karena kita tidak pernah berbicara bernegara yang berangkat dari bermasyarakat” katanya.
Menurutnya, ketika membicarakan Indonesia menggunakan kaca mata politik, maka akan berbicara seputar urutan sejarah. Dan pembicaraan seputar sejarah Indonesia yang sering dibahas selama ini adalah sejarah negara bukan sejarah bangsa. Mulai dari masa pra-kolonial dimana masyarakat nusantara ketika itu adalah masyarakat suku, kemudian di masa kolonial terdapat sertifikasi sosial yang membelah masyarakat ketika itu, dan pasca kemerdekaan yang katanya masyarakat nusantara menjadi satu bangsa, ”namun sebenarnya kita tidak pernah berbicara sebagai bangsa, kita bicara negara lagi” jelas Thung Ju Lan
Dalam pandangan Thung Ju Lan, berbeda dengan pembicaraan tentang bernegara yang menggunakan kaca mata politik, pembicaraan tentang berbangsa menggunakan pendekatan sosial-budaya. Dan ketika berbicara sejarah Indonesia secara sosial-budaya, tidak lepas dari pembahasan masyarakat hibrid, karena masyarakat Indonesia sebenarnya adalah masyarakat campuran.
“Jika berangkat dari sana, kita akan mendapati bahwa keragaman kita bukan etnis dan agama, tapi kehidupan kita dari ujung barat ke ujung timur, dari atas (utara) ke bawah (selatan). Kita membicarakan orang-orang yang bersatu dari dari ujung barat ke ujung timur, dari utara ke selatan” lanjutnya.
Dia mencontohkan budaya masyarakat Kepulauan Kei (letaknya di kawasan tenggara Kepulauan Maluku) mengangkat pendatang sebagai pemimpin lantaran dianggap sebagai pemberani karena berani merantau kemana-mana dan tiba di Kepulauan Kei, dan disana pun terdapat pengaruh budaya Bali. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena zaman dahulu mudah sekali untuk merantau kemana-mana, bergaul, kawin campur, menetap dan menjadi orang asli sana.
“Jika kita lihat dari kehidupan sehari-hari, itu kita percampurannyta kuat sekali” ujar alumni Sastra Cina UI tersebut menyimpulkan.
Berkaitan dengan etnis Tionghoa, Thung Ju Lan menyampaikan konsekuensi pembahasan etnis tersebut menggunakan kaca mata politik, maka yang terjadi adalah dibenturkannya antara penduduk asli atau pribumi dengan pendatang, “dan hal tersebut juga terjadi pada suku-suku kita yang datang ke papua misalnya, mereka hanya akan menjadi pendatang, karena konsep politik yang digunakan” tuturnya.
Kegiatan Dialog Kebangsaan tersebut dibuka oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta – Ahmad Riza Patria, serta turut hadir dalam kegiatan tersebut, pimpinan dan anggota FKUB DKI Jakarta, Kepala Kesbangpol Taufan Bakri, Perwakilan Kanwil Kemenag DKI Jakarta M. Jandan Zaini Dahlan, Perwakilan Majelis-Majelis Agama se-DKI Jakarta, Camat Cipayung Iin Muthmainnah, serta pimpinan dan anggota FKUB tingkat Kota/Kabupaten Se-DKI Jakarta.(fkub/Dn)