1. Jakarta identik dengan kekerasan.
Buktinya ada kekerasan negara seperti peristiwa 1965, Malari 1974, Peristiwa Priok 1983, Peristiwa Kudatuli 1996, dan kerusuhan massal 1998. Kejahatan disertai kekerasan juga sering terjadi dalam perampokan, penodongan, pemerasan hingga pengeroyokan dan tawuran geng, preman dan para pelajar ( Tadie, 2009). Kekerasan bercorak teror juga terjadi di Jakarta. Mulai dari era Presiden Soekarno, peristiwa Cikini, hingga bom Natal tahun 2000, peledakan bom di masjid Istiqlal, bom Kedubes Philipina, bom Atrium Senen, bom JW. Marriot 2003, bom Kedubes Australia tahun 2004, dan bom Marriot serta Rizt Carlton tahun 2009. Pada tahun 2010 di Jakarta Utara juga terjadi kekerasan negara, tragedi Priok ke 2 yang disebabkan usaha pembongkaran eks Taman Pemakaman Umum ( TPU Dobo) dimana pernah dimakamkan Habib Hasan al Hadad, seorang habib yang dikeramatkan ( Mufid, et.al, 2010). Kekerasan negara, kekerasan sehari-hari seperti premanisme dan tawuran memang fenomane yang tak terbantahkan. Bagaimana dengan kekerasan atas nama agama?
2. Kekerasan bernuansa agama pasca reformasi dapat dilihat antara lain yang terkait dengan politik seperti pengeboman menjelang Natal tahun 2000 dan peledakan bom Istiqlal. Keduanya dilakukan oleh anggota kelompok gerakan bawah tanah yang kemudian dikenal dengan jaringan al Qaedah di Indonesia, al Jama’ah al Islamiyah (JI). Masih terkait dengan isu agama, kekerasan yang kemudian menjadi bentrokan antara Laskar Pembela Islam dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam pada tanggal 1 Juni 2008 yang terjadi di lapangan Monas. Masih terkait politik, kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 juga diwarnai oleh isu SARA. Banyak spanduk, slebaran gelap dan orasi keagamaan yang menistakan calon gubernur dan wakil gubernur yang berbeda etnik dan agama. Sisa-sisa persoalan Pilgub DKI juga masih harus dialami oleh lurah Lenteng Agung dan Lurah Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Susan dan Grace Tiaramudi ditolak warga dan FPI karena dianggap tidak tepat, beda agama.
3. Potensi Kekerasan Terkait Pembongkaran Masjid dan KTP
Kebijakan pemerintah DKI Jakarta merenovasi Institut Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, menyangkut pembongkaran masjid Amir Hamzah. Sudah pasti pembongkaran masjid tersebut adalah untuk dibangun kembali yang lebih representatif. Di Jatinegara juga terjadi pembongkaran gedung perkantoran milik Pemda DKI yang di dalamnya ada bangunan masjid Baitul Arif. Isu pembongkaran masjid dijadikan argumen pemda DKI tidak mempedulikan kepentingan umat dan menyinggung perasaan. Ketika isu ini kurang mendapat respon dari umat Islam sebagaimana yang diharapkan oleh pihak tertentu, muncul pernyataan wakil gubenur tentang pengosongan kolom agama pada KTP. Pro dan kontra juga muncul dan ujung-ujungnya kekhawatiran bila Ahok kelak menjadi Gubernur DKI Jakarta, sebagaimana ditulis oleh media sosial, tabloid dan komentar di radio.
4. Kekerasan terkait dengan ijin pendirian rumah ibadat
Beberapa kekerasan terkait pendirian rumah ibadat juga terjadi di beberapa wilayah DKI Jakarta seperti di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Pelindo II Sukapura, Jakarta Utara, Kampung Duri di Jakarta Barat dan Petukangan Utara di Jakarta Selatan. Kekerasan yang dimaksud di sini masih seputar ungkapan ketidaksetujuan dibangun rumah ibadat kelompok minoritas. Sepanjang yang diketahui oleh FKUB, di Jakarta tidak ada perusakan atau penyegelan rumah kbadat. Penolakan ini dialami oleh umat Kristiani, Kristen maupun Katolik. Kelompok penentang umumnya masyarakat setempat yang juga mendapat dukungan dari FPI. Masalah penolakan pendirian rumah ibadat ini disebabkan oleh rasa ketakutan akan isu Kristenisasi dan cara-cara yang dipergunakan oleh panitia pembangunan rumah ibadat. Informasi yang dapat diidentifikasi oleh FKUB DKI Jakarta yang menjadi dasar perselisihan adalah; pemalsuan identitas pengguna dan pendukung ( persyaratan khusus PBM), sosialisasi dengan menggunakan bantuan sosial (baksos), pendekatan kepada tokoh tertentu yang dapat memecah belah umat. Cara -cara semacam ini sangat menyinggung perasaan tokoh agama dan tokoh masyarakat kelompok mayoritas.
5. Jakarta Damai
Visi FKUB sejak dibentuk tahun 2007 hingga sekarang adalah ingin mewujudkan Jakarta yang damai. Jakarta yang rukun dan terjalin hubungan harmonis serta kerjasama antar umat beragama. Setiap seminggu dua kali tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam FKUB melakukan pertemuan, menyampaikan informasi dan perkembangan kerukunan di Jakarta. Setiap satu tahun sekali FKUB mengunjungi pimpinan majelis agama dan melalukan dialog dengan tokoh dan pemimpin mereka untuk dan dalam kerangkan membangun Jakarta damai. Setiap saat, FKUB menerima dan menampung aspirasi masyarakat terkait perselisian pendirian rumah ibadat. Ada banyak rekomendasi yang telah dihasilkan dan disampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta. Mungkin FKUB DKI Jakarta merupakan FKUB yang paling banyak mengeluarkan rekomendasi ijin pendirian rumah ibadat. Hingga akhir tahun 2013, telah keluar 32 rekomendasi. Sebagian besar rumah ibadat yang diberikan rekomendasi adalah telah mengajukan ijin pembangunan rumah ibadat pada era orde baru, baik pembangunan baru atau renovasi. Salah satu fungsi FKUB, sebagaimana diatur dalam PBM No.9 dan No. 8 Tahun 2006 yang belum dapat dilakukan oleh FKUB adalah sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan kerukunan. Fungsi ini terkendala oleh biaya dan fungsi tersebut banyak dilakukan oleh pemerintah daerah maupun kantor Kementerian Agama.
6. Berdasarkan fakta tersebut diatas, kekerasan di Jakarta lebih disebabkan oleh faktor politik, ketimbang masalah suku dan agama. Agama setingkali dipergunakan untuk kepentingan politik (Kasus Tanjung Priok, 1983, Priok 2010, Pilgub 2013). Perselisihan terkait rumah ibadat lebih bersifat relasional. Kedudukan dan kehormatan pemuka agama dan masyarakat setempat terganggu dengan munculnya rumah ibadat baru yang dianggap kegagalan mereka dalam membina umat. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan Jakarta damai, toleran dan terwujudnya kerjasama antar umat beragama adalah dengan penguatan FKUB, meningkatn frekuensi dialog, dan pengembangan wawasan demografi dan multikulturalisme. Dengan cara demikian, FKUB dapat menjadi wadah musyawarah tokoh agama, lembaga yang memberikan ruang untuk kerjasama dan pengembangan budaya damai.
Oleh: H. Ahmad Syafi’i Mufid
Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta