Home > Artikel > Peta Kontestasi Gerakan Radikal dan Liberal di Indonesia pada Era Reformasi
Artikel

Peta Kontestasi Gerakan Radikal dan Liberal di Indonesia pada Era Reformasi

Oleh: Dr.KH. Ahmad Syafi’I Mufid

 

Pendahuluan

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam masuk ke wilayah Nusantara tergolong paling akhir dibandingkan dengan kawasan lainnya. Paham keagamaan yang diajarkan dan kemudian dianut oleh mayoritas penduduk adalah ahlus sunnah waljamaah, sebuah paham moderat. Secara harfiyah, ahlu sunnah wal jama’ah adalah penganut sunnah, tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan kesepakatan para ulama. Watak moderasi (washatiyah) yang dimiliki oleh faham ini baik dalam sistem keyakinan (aqidah), syari’ah maupun praktik akhlak/tasawuf sesuai dengan corak kebudayaan masyarakat Indonesia. Dinamika perkembangan ahlu sunnah wal jama’ah (Aswaja), awalnya dinilai akomodatif terhadap tradisi lama (local tradition), kemudian berkembang mengikuti trend pemurniah (puritanisme) sehingga corak Islam terlihat semakin murni dari unsur-unsur lokal. Pemurnian ajaran ASWAJA dari anasir lokal dan tradisi lama melahirkan gerakan modernis yang tetap bersandar pada kaidah berfikir atau istimbat al hukmi yang berlaku dalam madzhab ahlu sunnah wal jamaah. Kelangsungan dan perubahan pemahaman dan perubahan paham Aswaja berjalan damai, kecuali dalam beberapa kasus seperti pertentangan antara “kaum tua” versus “kaum muda” di awal abad ke XX.

Runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi membawa perubahan bagi diskursus keagamaan. Masyarakat muslim Indonesia digegerkan oleh munculnya paham dan gerakan seperti Laskar jihad, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Jama’ah Ansharut Tauhid, Salafi radikal, Hizbut Tahrir Indonesia dan banyak lagi yang lain. Waktu itu tidak hanya paham keagamaan yang mengaku ahlus sunnah, Syi’ah juga berkembang di negeri ini. Hubungan antarumat agama, pada akhir masa orde baru sudah tegang menjadi semakin panas, ketika presiden Soeharto jatuh. Konflik suku, ras, agama dan golongan (SARA) terjadi di mana-mana. Ada konflik Ketapang Jakarta, konflik NTT, konflik Ambon, konflik Maluku, Sambas, Sampit dan seterusnya. Ketegangan semakin menjadi, ketika dibentuk Laskar Jihad yang kemudian dikirim ke Ambon dan Maluku. Benturan pun terjadi benturan antarpenganut agama, utamanya antara Islam dan Kristen. Belakangan konflik internal juga terjadi antara penganut Ahsus Sunah berhadap-hadapan dengan komunitas Syi’ah, sebagaimana terjadi di Sampang, Madura, Bondowoso dan Jember, Jawa Timur. Jamaah Ahmadiyah Indonesia, yang sejak sebelum kemerdekaan hidup tenang damai meskipun terlibat perdebatan sengit, kali ini harus terlibat dalam kekerasan fisik seperti di Ceukesik, Banten dan Mataram NTB.

Perubahan sosial akibat modernisasi dan perjumpaan dengan berbagai pemikiran global, penganut Aswaja menghadapi tantangan internal maupun eksternal. Tantangan internal, kuatnya pengaruh Wahabisme (Salafi) sangat dominan dalam tiga pulih tahun terakhir. Kehadiran faham Wahabi membuat gaduh wacara keagamaan karena kritik-kritik dan praktik keagaaam mereka yang tidak hanya berbeda dengan kaum Aswaja tetapi penghakiman kemusyrikan, pembid’ahan terhadap praktik keyakinan dan peribadatan yang berbeda. Tidak hanya dalam bidang agama, kelompok Salafi Jihadis (Sururi) juga mengembangkan faham fundamentalisme radikal yang mendorong terjadinya teror di Indonesia. Islam kemudian identik dengan kekerasan dan teror. Reaksipun muncul dari kalangan kaum muda pendukung Aswaja, dengan mendeklarasikan terbentuknya Jaringan Islam Liberal (JIL). Kebebasan berfikir membuat kaum tua dari kalangan Aswaja khawatir dan gelisah terhadap gerakan Islam liberal. Mungkinkah Aswaja mampu menempatkan diri pada posisi moderat (washatiyah) di tengah-tengah gempuran radikalisme, liberaisme dan sesat pikir (aliran sesat) lainnya? Tantangan eksternal, Aswaja berhadapan dengan globalisasi seperti demokrasi, hak asasi manusia dan ekonomi pasa, juga merupakan tentangan tersendiri.

Sesungguhnya, kehadiran berbagai macam paham transnasional ke Indonesia merupakan ujian bagi mayoritas umat Islam yang menganut paham Aswaja. Apakah Aswaja akan tetap eksis bahkan menjadi semakin menguat atau semakin kecil peranannya dalam kancah berbangsa dan bernegara. Perbincangan dengan topik Peta Kontestasi Gerakan Radikal dan Liberal dapat dijadikan bahan renungan dan pemikiran dalam menetapkan strategi pemeliharaan kerukunan intern umat beragama maupun antarumat beragama, sebagaimana yang sedang dikembangkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Selatan saat ini.

Radikalisme Agama

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah radikal dalam sebuah gerakan keagamaan? Radikal berasal dari kata radek yang berarti akar dan dalam bahasa Inggris radical berarti akar atau dasar. Radikalisme (radicalism) adalah keyakinan terhadap prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan radikal dalam politik, sosial maupun keagamaan. Jika dikaitkan dengan perseorangan, radikal adalah berkaitan dengan pendapat atau opini. Selanjutnya, istilah ‘Islam radikal’ menurut Jamhari dan Jajang Jahroni adalah kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan berlaku kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak pula yang bergerak secara terang-terangan.

Gerakan keagamaan radikal bagi bangsa Indonesia bukan hal baru. Sartono Kartodirdjo, dalam buku Protest Movement in Rural Java, mencatat beberapa pemberontakan petani di pedesaan Jawa pada abad ke sembilan belas awal abad 20 sebagai gerakan protes yang memiliki corak radikal (Kartodirdjo, 1973). Gerakan radikal sering dikaitkan dengan kehadiran Ratu Adil dalam menghadapi kondisi sosial politik yang tidak mengenakkan bangsa terjajah. Beberapa tokoh dipersepsi sebagi Ratu Adil adalah Pangeran Diponegoro yang memimpin perang Jawa pada tahun 1825-1830 dan juga tampilnya HOS. Cokroaminoto sebagai pemimpin pergerakan yang sering disebut sebagai raja tanpa mahkota. (Kartodirjo, 1984).

Sementara itu Kuntowijoyo mencatat bahwa sampai abad kesembilan belas, pola gerakan Islam di Indonesia bersifat komunal. Para tokoh pemimpin Islam menggunakan solidaritas pedasaan, solidaritas petani misalnya, untuk menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Munculnya Sarikat Dagang Islam pada awal abad 20, yang mencoba menghimpun kekuatan –wong cilik– dengan memperluas orientasi gerakannya pada level ekonomi, politik dan agama maka organisasi ini kemudian memperoleh basis yang lebih kukuh sehingga menjadi organisasi besar dan mencakup kawasan yang sangat luas, setelah berubah menjadi Syarikat Islam atau SI ( Kuntowijoyo, 1991:195-196). Gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling menonjol bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan bumi putra pada awal abad XX ( Shiraishi, 2005). Lebih lanjut sarjana Jepang ini menyatakan bahwa Kartini adalah ibu yang melahirkan kebangkitan nasional Indonesia; BO dan Indische Partij (IP) sebagai pendahulu gerakan nasionalis; Sarekat Islam dan Muhammadiyah sebagai pendahulu gerakan Islam; dan Indische Sociaal Democratische dan PKI sebagai pendahulu gerakan komunis (Shiraishi, 2005: xii). Kelompok-kelompok pergerakan ini seringkali menunjukkan radikalisme seperti yang ditunjukkan oleh SI lokal maupun PKI.

Militansi Islam modern menguat di Indonesia selama akhir tahun 1949 sampai dengan awal tahun 1950-an. Darul Islam (DI), sebuah kelompok Islamis radikal, yang memiliki visi mendirikan negara Islam di Indonesia, melakukan pemberontakan di Jawa Barat pada tahun 1950-an (C.van Dijk: 1983: 367). Pemberontakan DI dapat dihancurkan, tetapi radikalisme yang berafiliasi dan memiliki koneksitas dengan ideologi Darul Islam tetap berlangsung hingga akhir 1970-an. Pada pertengahan 1977, rezim Soeharto menangkap 185 orang yang sebagian besar adalah anggota DI yang terlibat gerakan yang dikenal dengan Komando Jihad. Para anggota organisasi yang ditangkap dan diadili menyatakan bahwa gerakan mereka adalah meneruskan cita-cita Kartosuwirjo dan berambisi mendirikan Negara Islam Indonesia (Sharif Shuja, Terrorism Monitor. Vol 3, Issue 8, April 21,2005 B.J. Boland, 1985: 65; Muqoddas, 2011: 125).

Gerakan Islam bawah tanah juga melakukan tindak kekerasan bahkan disertai teror peledakan bom pada tahun 2000 dan tahun-tahun selanjutnya. Kali ini, bom meledak di beberapa tempat, dan yang menjadi sasaran adalah gereja, rumah duta besar Philipina, pusat wisata di Kuta Bali, hotel JW. Marriott Jakarta, Kedutaan Australia, Bali II, JW Marriott dan hotel Rizt Carlton di Jakarta. Awalnya banyak pihak yang terkejut dan tidak percaya, bahwa pelaku peledakan bom tersebut adalah sebuah gerakan Islam yang kemudian dikenal dengan nama al Jama’ah al Islamiyah. Wakil Presiden, Hamzah Haz dan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar adalah diantara mereka yang menyatakan terorisme itu tidak ada di Indonesia (Republika, tanggal 26 Maret, 2002).

Mantan Kepala Badan Koodinator Intelijen Negara (BAKIN) Z.A. Maulany, termasuk orang yang tidak mempercayai peledakan bom Bali I dapat dilakukan oleh sebuah gerakan Islam. Bom Bali adalah isu untuk mendiskriditkan Islam, dan fitnah semata. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa ledakan bom yang memiliki daya rusak tinggi, menggunakan bahan C4 atau micro nuclear, hanya dapat dilakukan oleh militer (Tim Advokat untuk Abu Bakar Ba’asyir, kepada PN Jakarta Selatan, 2011: 6). Pendapat yang kurang lebih sama juga muncul dalam wacana publik. Laksamana (purnawirawan) Mulyo Wibisono, mantan Komandan Satuan Tugas Intelijen Badan Intelijen Strategis Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (BAIS-ABRI) dalam sebuah dialog yang disiarkan oleh Metro TV juga menyatakan bahwa terorisme itu ada sponsor, para pelaku hanya dapat merakit bahan-bahan, sedangkan bahan yang diledakkan buatan pabrik. Dari mana mereka mendapat bahan peledak tersebut? Inilah yang tidak pernah diungkap (Wawancara dengan Laksamana (pur). Mulyo Wibisono, di Duren Sawit, Jakarta, tanggal 19 Oktober 2012). Silang pendapat terkait terorisme di Indonesia membuat masyarakat ragu, apakah terorisme benar-benar ada atau hanya sebuah permainan atau pesanan dari pihak asing. Benarkah pelaku tindak pidana terorisme adalah mereka yang tergabung dalam gerakan Islam radikal? Terlepas dari silang pendapat tersebut, masyarakat telah merasakan bahwa pasca reformasi di Indonesia paham dan gerakan radikal telah tumbuh subur. Mereka berbicara keras, melakukan tindakan keras terhadap apa yang dipandang berbeda dengan pandangan keagamaan mereka.

Kelompok-kelompok garis keras inilah yang dewasa ini disebut gerakan Islam radikal. Diskursus gerakan Islam radikal pasca reformasi dimulai dengan Laskar Jihad di Ambon, kemudian gerakan Al Jama’ah al Islamiyah dan yang paling mutakhir adalah Islamic State of Irak and Syria (ISIS). Beberapa organisasi masa bercorak agama yang memaksakan kehendaknya dengan dan atas nama agama juga disebut sebagai gerakan radikal. Jamhari dan Jajang Jahroni mengelompokkan Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Hizbut Tahrir, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai kelompok Salafi Radikal di Indonesia (Jamahari dan Jajang Jahroni, 2004). MMI juga memiliki sayap militer yang bernama Laskar Mujadidin Indonesia, Laskar Santri, Laskar Jundulllah, Kompi Badar, Brigade Taliban, Corps Hizbullah Divisi Sunan Bonang dan Pasukan Komando Mujahidin (Syamsul Arifin dan Hasan Bachtiar, 2013; 28). MMI kemudian pecah dan berdirilah Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), yang dideklarasikan di Asrama Haji Bekasi pada 17 September 2008. MMI dipimpin oleh M. Thalib, sedangkan JAT dipimpin oleh abu Bakar Baasyir. Sementara itu Endang Turmudzi dan Reza Sihbudi dkk, memasukkan Pesantren Al Mukmin (Sukoharjo), Pesantren al Islam (Lamongan), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Komite Persiapan {Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, DI/NII sebagai Islam radikal ( Endang Turmudzi dan Riza Sihbudi, 2005).

Gerakan Islam radikal yang kemudian menebar teror sejak tahun 2000 terus berlangsung hingga sekarang. Belum ada tanda-tanda berhenti meskipun program penanganan terorisme telah dilakukan disertai dengan program deradikalisasi dan usaha-usaha preventif. Ansyaad Mbai menyatakan, tahun 2013 menjadi bukti bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi negeri ini. Sepanjang tahun ini telah ditangkap 94 orang tersangka teroris. Mereka terlibat beragam kasus, mulai dari perampokan, serangan bom hingga penembakan polisi. Di antara para pelaku kekerasan ini terdiri dari dua kelompok teror yang paling berbahaya yaitu Mujahidin Indonesia Barat (MIB) yang dipimpin oleh Abu Umar dan kemudian dilanjutkan oleh Abu Roban, dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso (Mbai, 2014: 21). Beberapa hari yang lalu, tertangkap 4 orang yang diduga teroris dari Turkistan yang akan menuju Poso.

Radikalisme Kiri

Ideologi kiri berpandangan bahwa realitas sosial tidak cukup dipahami dan dimengerti, melainkan harus diubah. Kondisi sosial yang timpang disebabkan oleh ketidakadilan, penindasan dan dominasi kelompok harus dikoreksi dengan gerakan sosial dan gerakan politik secara radikal. Ada berbagai bentuk radikalisme kiri, tergantung kepentingan dan isu-isu politik yang mereka inginkan. Ada gerakan radikal kiri yang paling kuno seperti sosialisme komunitarian, sosialisme utopia yang muncul sebelum Marxisme. Setelah itu muncul Leninisme-Marxisme, komunisme, Sosialis demokrat, Trotskyisme, dan Maoisme.

Pada tahun 1960-1970-an muncul dokumen “Port Huron Statement” yang ditulis oleh Tom Hayden pada tahun 1964 dan diratifikasi sebagai pernyataan ideologis gerakan mahasiswa untuk masyarakat demokratis.Masyarakat demokratis menandai lahirnya gerakan Kiri Baru di AS. Mereka memperjuangkan perlunya “demokrasi partisipatoris” untuk melawan demokrasi perwakilan yang didominasi oleh elit-penguasa (Ali, 2012; 9). Tujuan utama dari gerakan “Kiri Baru” adalah membongkar semua bentuk donimasi. Prinsip etik yang mendasari seluruh gerakan yang begitu beragam adalah kepercayaan mereka kepada demokrasi, kebebasan, persamaan, dan solidaritas kepada segenap lingkungan kehidupan termasuk ras, gender, lingkungan sipil, dan ekonomi.

Kelompok kiri menetapkan Marxisme, Leninisme, dan Maoisme (MLM) sebagai ideologi yang membimbing cita-cita revolusioner dan gerakan internasional revolusioner. Oleh karena itu Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Indonesia, meski Marxisme-Leninisme menjadi ideologi mereka, juga menggalang ploretariat agraria. Menggalang kekuatan dari kalangan buruh, tani, nelayan dan juga mahasiswa seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Mereka juga menggalang masa rakyat miskin perkotaan, dan pemuda-mahasiswa kiri dalam bentuk Forum Kota (Forkot). Gerakan semacam ini muncul dalam situasi kekacauan sebagaimana Indonesia pada menjelang dan masa awal reformasi. Salah satu bentuk aksi radikal mereka adalah tindakan anarkis mereka pada tanggal 27 Juli 1996 terkait dengan konflik Partai Demokrasi Indonesia kubu Suryadi versus kubu Megawati yang berakibat pada kerusuhan ( Tanjung, 2006: 138).

Selain perjuangan melalui partai, kelompok kiri radikal juga bergerak melalui gerakan sosial atau front-front yang dibentuk seperti Front Perjuangan Rakyat (FPR), untuk menyatukan perjuangan buruh dan tani. Dalam barisan ini terdapat Aliansi Gerakan Reform Agraria (AGRA). Gerakan serikat Buurh Independen (GSBI), Front Perjuangan Buruh Sejabodetabek (FPBJ), Aliansi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI). Mereka juga memasuki kelompok mahasiswa seperti Front Mahasiswa Nasional (FMN), Lembaga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan kelompok sosial lainnya seperti Komite Perjuangan Rakyat Miskin Kota ( Ali, 2012: 24).

Gerakan Liberal di Kalangan Muslim

Di kalangan anak muda NU, penganut dan pendukung faham ASWAJA, pada akhir dekade 1990-an mengembangkan faham Islam liberal. Mereka memproklamirkan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tanggal 8 Maret 2001 dalam sebuah diskusi untuk pencerahan dan kebebasan pemikiran Islam Indonesia ( Nuh, 2007: xvi). Mungkin banyak yang bertanya, ketika koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, menyatakan bahwa akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya justru dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushul fiqh dan qawaidul fiqh yang dahulu diajarkan oleh para kyai pesantren. Pemikiran yang dilontarkan oleh cendekiawan NU meliputi banyak hal yang berpotensi menimbulkan pandangan kontroversial menyangkut bidang akidah, fikih maupun tasawuf. Ber-Islam tidak berarti sama dengan menjadi ekstrim. Atau sikap benar dalam Islam itu sama dengan berlaku hitam putih? Bukankah al-Qur’an berpesan: ya ahlal kitab la taghlu fi dinikum, hai orang-orang yang menerima Kitab Suci dari Tuhan, janganlah terlalu “ekstrem” dalam beragama. Nabi pun bersabda: yassiru wa la tu’assiru, mudahkanlah dan jangan dipersulit ( Abdalla, 2005: 43-46).

Mujamil Qomar dalam disertasinya menyimpulkan bahwa diantara pemikiran-pemikiran para cendekiawan NU, ternyata telah banyak gagasan yang jauh keluar dari dari batas-batas tradisi pemikiran NU. Pemikiran para cendekiawan NU seperti Abdurrahman Wahid, Sahal Mahfudz, Masdar Masudi, Said Agil Sirat, Ali Yafi, Thalhah Hasan telah memberi implikasi iklim intelektual di kalangan angkatan muda NU, baik mahasiswa, pelajar maupun santri pesantren. Bahkan diantara memerka ada yang memiliki pemikiran lebih liberal dibanding pada ulama cendekiawan mereka. Anehnya, pemikiran yang mencoba menentang tradisi pesantren itu ternyata mendapat dukungan deari kyai-kyai tua ( Qomar, 2002: 273; Feillard, 2008: 388). Lengkap sudah, sejak akhir tahun 1990-an Indonesia menjadi tempat persemaian faham radikal dan liberal.

Pemikiran liberal sudah berkembang menjadi gerakan. Diskusi digelar diberbagai kampus. Artikel dalam jurnal dapat dijumpai, seperti “indahnya kawin sesama jenis” yang diterbitkan oleh jurnal di IAIN Walisongo, Semarang. Beberapa kampus IAIN dalam orientasi studi mahasiswa baru, berani memasang spanduk yang sangat liberal, menghujat dan cenderung melecehkan. Beberapa tahun yang lalu di Bandung muncul spandul “ Daerah Bebas Tuhan” dan beberapa minggu yang lalu di UIN Sunan Ampel juga muncul spanduk “ Tuhan Telah Membusuk”. Kasus-kasus tersebut adalah beberapa contoh tentang perkembangan paham liberal. Ironis memang, kalau di kalangan pendidikan tinggi Islam berkembang paham liberal, di kampus perguruan tinggi umum dan bahkan sekolah-sekolah menengah berkembang paham Islam radikal.

Pemeliharaan Faham ASWAJA

Faham Aswaja sedang terancam baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman dari luar datang dari faham-faham (isme) yang tidak bersumber dari wahyu, cenderung pada empiris positifistik seperti kapitalisme, liberalisme dan sekularisme. Faham-faham ini sejatinya memisahkan antara manusia dengan Tuhan dengan berbagai argumen. Dari dalam komunitas Islam juga muncul faham-faham yang bersumber pada pemikiran dan kontempelasi. Pengaruh pemikiran jelas-jelas meninggalkan dampak berupa lahirnya banyak madzhab baik dalam kalam, fiqh dan akhlak tasawuf. Masing-masing madzhab memiliki metode berbeda dalam memahami teks suci al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak mengikuti salah madzhab juga produk pemikiran. Persaingan, perselisihan hingga konflik terjadi antara kelompok umat, apakah karena faham, aliran atau gerakan bila memperebutkan dukungan dan sumber daya. Tafaruq dan firqah merupakan dampak dari perbedaan (ikhtilaf). ASWAJA muncul dalam sejarah pemikiran dan gerakan Islam sebagai jalan tengah, karena asumsi, paradigma dan metode berfikir yang dipergunakan berdasarkan realitas empirik dengan bimbingan wahyu. Etika beda pendapat (adab al ikhtilaf) juga sudah dikembangkan sejak awal kemunculannya, dan dipraktekan oleh para ulama sepanjang masa melalui aqidah lurus dan akhlak yang terpuji.

Pemerintah Indonesia, ulama dan organisasi masa Islam berkepentingan dan memiliki tanggungjawab untuk memelihara faham ASWAJA. Doktrin ASWAJA dan ideologi Pancasila memiliki watak yang sama, yaitu moderasi. Bagaimana umat Islam Indonesia yang jumlahnya paling besar dalam komposisi kependudukan, menerima Pancasila sebagai dasar negara? Jawabnya adalah Pancasila itu moderasi antar faham, aliran, golongan, ras. ASWAJA juga sebuah faham moderat dalam Islam. Ia merupakan jalan tengah antara radikalisme dan liberalisme. ASWAJA menghargai pluralitas dan perbedaan termasuk beda agama dan keyakinan, karena wahyu dan pengalaman sejarah menuntunnya untuk menghargai perbedaan tersebut. Atas dasar itulah, lembaga pendidikan dan pengajaran agama baik di rumah tangga, sekolah maupun masyarakat terus menerus mengajarkan faham ASWAJA. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi pengawal kelurusan akidah dan akhlak umat Islam melalui Komisi Pengkajian dan Komisi Fatwa. Pemerintah, khususnya Kementerian Agama RI telah memiliki unit kerja untuk melakukan penelitian dan pengembangan kehidupan keagamaan yang salah satu hasilnya adalah pengumpulan informasi dan penanganan aliran sesat.

Penutup

Faham Aswaja yang telah menjadi bagian dari sistem keberagamaan masyarakat muslim Indonesia terus menerus mengalami penilaian dan kritik secara internal, dikoreksi dan disesuaikan dengan perkembangan. Pengertian Aswaja secara sempit sudah ditinggalkan, dan pengertian secara inklusif diterima dan dikembangkan. Namun watak dan corak khas faham Aswaja; moderasi (tawashut), keseimbangan (tawazun), dan berkeadilan (adalah) tetap dijaga dan dipelihara.

Meskipun orientasi keagamaan sebagian penganut Aswaja telah berubah ke arah fundamental-radikal, atau progresif liberal, tradisi yang selama ini berkembang dalam masyarakat tetap terpelihara dengan baik. Bahkan beberapa dekade terakhir telah terjadi konvergensi pemahaman di kalangan umat. Tantangan yang paling mengkhawatirkan adalah berkembangannya faham dan sikap hidup materialistik, yang juga sudah disinyalir dalam al-Qur’an (bal tu’sirunal hayata al-dunya, wa al-akhiratu khairun wa abqa). Pembacaan terhadap kecenderungan duniawi berbanding dengan kesiapan menghadapi masa depan (ukhrawi) meniscayakan pemahaman kebergamaan yang moderat, toleran dan kesediaan berdialog serta bekerjasama lintas madzhab dan lintas keyakinan agama.

Banjarmasin, 17 September 2014

 

Daftar Pustaka

 

Abdalla, Ulil Abhar

2005       Menjadi Muslim Liberal, Penerbit Nalar kerjasama dengan Jaringan Islam

Liberal, Freedom Institute.

Alatas, Ismail Fajrie

2010   “ Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial & Etnisitas,

Dalam LWC. Van den Berg, Orang Arab Nusantara, Jakarta, Komunitas Bambu.

Ali, As’ad Said

2012     Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Jakarta, LP3ES.

Atho Mudzhar

2012     Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keaga

maan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Berg, LWC. Van den

2010     Orang Arab di Nusantara, Jakarta, Penerbit Komunitas Bambu (terj. Rahayu H)

Dhofier, Zamakhsyari

1982     Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES.

Feillard, Andree

2008       NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LKIS.

Hasan, Noorhaidi

2008       Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca

                       Orde Baru, Jakarta Penerbit LP3ES dan KITLV Jakarta.

Ismail, Faisal

2001       Islam and Pancasila: Indonesia Politics 1945-1995, Jakarta, Balitbang dan Dik

lat Departemen Agama RI.

2004     Dilema NU Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta, Badan Litbang dan

Diklat Departemen Agama RI.

Jamhari, Jajang Jahrani (peny)

2004           Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Jaiz, Hartono Ahmad

2002       Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.

Kurzman, Charles

2003     Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global.

Jakarta, Paramadina.

Mbai, Ansyaad

2014             Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia. AS Production Indonesia

Mufid, Ahmad Syafi’i

2006     Tangklukan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta,

Penerbit Obor.

2011     Al-Zaytun The Untold Stories: Investigasi terhadap Pesantren Paling Kontrover

                       Sial di Indonesia, Jakarta, Penerbit alvabet.

2011     Perkembangan Paham Keagamaan Transnasionql di Indonesia, Jakarta,

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

2012     Motivation and Root Causes of Terrorism, Jakarta, INSEP.

2012     “ Setelah Jihad dan Bom: Diskursus Dakwah Pada Masyarakat Plural” dalam

Harmoni, Vol. 11 No.2 Januari-Maret.

2013     “ Radikalisasi dan Terorisme Agama, Sebab dan Upaya Pencegahan” dalam

Harmoni, Vol. 12 No.1 Januari-April.

Nuh, Nuhrison M (ed)

2007     Faham-Faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan, Jakarta

Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.

Pijper, G.F

1984     Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Jakarta

Universitas Indonesia-Press. (terj. Tujiman dan Yessy Augusdin).

Qomar, Mujamil

2002       NU “Liberal” Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,

Bandung, Penerbit Mizan.

Samudra, Imam

2004       Aku Melawan Teroris, Solo, Penerbit Jazera.

Shiraishi, Takashi

2005             Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta

Grafiti.

Tanjung, M. Alfian

2006     Mengganyang Komunis: Langkah&Strategi Menghadapi Kebangkitan PKI,

Jakarta, Taruna Muslim Press.

Thoha, Anis Malik

2005       Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta, Penerbit Prespektif.

Tim Peneliti

2006     Faham-Faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan, Jakarta, Puslit

bang Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi (ed)

2005     Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta, LIPI Press.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *