Home > Artikel > Refleksi Atas Peristiwa Aceh Singkil
Artikel

Refleksi Atas Peristiwa Aceh Singkil

Rabu pagi, 14 Oktober 2015 bertepatan dengan perayaan tahun baru  1437 H, kembali terjadi konflik antarumat beragama di Singkil, Aceh. Lagi-lagi musababnya masalah pendirian rumah ibadat. Sebuah rumah ibadat terbakar dan ratusan orang mengungsi. Kejadian yang serupa juga telah kita saksikan di Tolikara, Papua, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri 1436 H yang lalu. Sebuah rumah ibadat dan puluhan kios dan rumah terbakar pula. Peristiwa semacam ini mengapa terus terjadi di bumi pertiwi. Ada apa sebenarnya dengan kehidupan beragama dalam negara kesatuan Republik Indonesia?

Kita sesalkan kejadian tersebut, kita juga sedih karena kerukunan umat beragama yang kita bangun selama ini belum tertanam dengan kokoh. Berbagai penelitian, lokakarya, seminar, sarasehan, dan dialog kerukunan telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat madani. Sasarannya  pun sudah mencakup kalangan elite dan akar rumput. Apa yang kurang dari serangkaian usaha untuk mengatasi masalah konflik sosial ini. Kita juga sudah memiliki konstitusi, undang-undang dan peraturan terkait kehidupan beragama dan konflik sosial. Namun, sepertinya kita tidak memiliki apa-apa yang mengatur kehidupan beragama. Akibatnya setiap ada kejadian, selalu saja dicari “kambing hitam” atau “provokator”. Padahal sesungguhnya peristiwa tersebut terjadi adalah karena kesadaran sebagai bangsa multikultur, etnik, agama, lingkungan alam dan sosial yang beragam masih tipis. Menghargai perbedaan dan menerima  adanya perbedaan itulah yang kurang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemahaman, penghayatan dan penghormatan akan keragaman inilah yang perlu terus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan berbegara. Apa yang telah diatur oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan. Pembangunan rumah ibadah harus memperoleh ijin dan pemerintah sudah diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2002, empat tahun sebelum lahirnya Perber Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 yang menentukan persyaratan khusus untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat. Peraturan Bersama Menteri ini sebenarnya tidak lahir dari  konsep para birokrat keagamaan saja, tetapi juga melibatkan wakil-wakil majelis agama. Oleh karena itu anggapan bahwa adanya Perber sebagai penyebab timbulnya masalah pendirian rumah ibadat adalah tidak tepat.

Tidak taat peraturan dan pembiaran pelanggaran terhadap aturan pembangunan rumah ibadat itulah yang menjadi sebab utama kasus. Jika aparat cepat dan tegas ketika ada kelompok masyarakat yang mau membangun rumah ibadat dan tidak sesuai dengan ketentuan kemudian ada teguran maka kejadian seperti di Singkil atau Tolikara tentu tidak akan terjadi. Bukankah Undang-undang No. 7 tahun 2012 tentang Penangan Konflik Sosial sudah mengatur serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Kalau setiap kabupaten atau kota sudah ada Forum Kerukunan Umat Beragama, sebagai mana diatur dalam Perber di atas, maka konflik sosial seperti di Singkil atau Tolikara dapat dikelola sehingga meminimalisir korban. Sudah banyak korban jiwa dan harta benda karena konflik sosial.

Kasus-kasus kekerasan atas nama agama, atau atas nama ideologi apapun, mendorong kita semua untuk kembali meneguhkan komitmen kebangsaan. Proses menjadi Indonesia masih harus terus kita pupuk, kita siram dan pelihara dengan baik. Caranya, seperti pepatah Melayu ” di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, menghargai adat istiadat setempat. Taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak memaksakan kehendak dan bersedia untuk musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Sesungguhnya masyarakat kita mudah menerima perbedaan dan sekaligus menghargai perbedaan apapun, termasuk dalam berkeyakinan dan beragama. Sayangnya, seringkali masyarakat yang lugu dan sederhana tersebut memperoleh informasi yang kurang baik,  indoktrinasi dan diprovokasi sehingga memunculkan agresifitas yang menimbulkan ” amok” dan konflik sosial.

Belajar dari berbagai peristiwa konflik sosial di Indonesia pasca reformasi, peneguhan komitmen kebangsaan harus terus dikembangkan. Disamping itu, Forum Kesiagaan Dini Masyarakat dan Forum Kerukunan Umat Beragama juga perlu diberdayakan agar dapat mencegah konflik sosial terulang kembali. FKDM menjadi sumber informasi, FKUB tampil memberikan solusi. Dengan cara ini pemerintah daerah dan pusat tidak harus terlibat langsung penanganan masalah sosial, termasuk masalah keagamaan, kecuali hal-hal yang bersifat pengaturan serta pengawasan.

Jakarta, 16 Oktober 2015

 

 

Ahmad Syafi’i Mufid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *