Sejarah MUI Jakarta

Pendirian MUI dilatarbelakangi adanya kesadaran kolektif Umat Islam bahwa Negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak.

Kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta termasuk unik. Ia lahir pada tanggal 13 Februari 1975, sementara MUI Pusat lahir pada 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975[1]. Artinya MUI Provinsi DKI Jakarta lahir sekitar 5 bulan lebih awal mendahului organisasi induknya. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
MUI Provinsi DKI Jakarta meskipun lahir mendahului organisasi induknya, masih berhubungan secara organisatoris dan historis dengan MUI Pusat. Bahkan, dalam kancah pergerakan umat Islam di Indonesia, legitimasi sejarah tetap saja dialamatkan kepada MUI Pusat.
MUI Pusat pernah berdiri pada bulan Oktober 1962 atas instruksi pemerintah pusat. Pada saat itu, MUI turut ambil bagian dalam pembangunan ala Demokrasi Terpimpin. Pada saat Soekarno turun dari kursi kepresidenannya, MUI Pusat justru tidak berfungsi. Sebaliknya, MUI di daerah-daerah yang Islamnya terkenal kuat, misalnya  Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, kegiatannya justru semakin meningkat. Karenanya, pada saat itu mekanisme organisasi MUI tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya[2].
MUI muncul hampir bersamaan dengan dua kondisi politik yang paradoks di era Orde Baru. Di satu sisi, kegagalan perjuangan merehabilitasi Masyumi, akibat kekhawatiran Orde Baru terhadap kelompok politik Islam. Di sisi lain, kebutuhan Orde Baru untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan Islam untuk mensukseskan pembangunan ala Orde Baru.
Orde Baru mulai melunak dalam membendung aspirasi umat Islam; lunak tetapi tetap mengawasi. Di pihak umat Islam, kekecewaan politik atas kegagalan Masyumi, membuat mereka mendirikan wadah perjuangan baru dalam bentuk lain. Pada tanggal 9 Mei 1967, Muhammad Natsir bersama-sama dengan bekas pemimpin Masyumi lainnya, mendirikan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Walaupun tanpa dukungan pemerintah, DDII memperoleh sambutan hangat di berbagai daerah. Terlebih lagi, ia mendapat dukungan dari Rabithah al-Islami Karachi, dimana Natsir menjadi wakil ketua organisasi Islam internasional itu[3].
Sukses Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) memunculkan inspirasi pemerintah untuk memprakasai berdirinya Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang dibentuk Menteri Agama dengan SK No. 108/1969, tanggal 8 September 1969. Lembaga yang diketuai KH. Moh. Ilyas, kemudian H. Soedirman, merupakan organisasi semi resmi dan dikelola sejumlah ulama dan cendikiawan yang dekat dengan pemerintah. Tujuan lembaga ini untuk meningkatkan kegiatan dakwah. PDII berdiri didukung pemerintah dan diasuh tokoh-tokoh Masyumi. Kondisi semacam ini pada gilirannya melahirkan kesan, pendirian PDII untuk menyaingi DDII.
Salah satu karya besar PDII, keberhasilannya menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama seluruh Indonesia di Jakarta pada tanggal 30 September s/d 4 Oktober 1970. Dalam musyawarah yang bertemakan “Mewujudkan Kesatuan Amaliyah Sosial Umat Islam dalam Masyarakat, dan Partisipasi Alim Ulama dalam Pembangunan Nasional” itu, para peserta mengajukan usul untuk mendirikan “lembaga fatwa”. Mereka mngusulkan agar lembaga fatwa itu terdiri dari alim ulama dan cendikiawan muslim terpilih, yang memiliki pengetahuan luas, sehingga fatwanya memiliki otoritas agama yang mengikat. Diharapkan, pemerintah dapat menyokong lembaga fatwa itu, sehingga fatwa-fatwa yang diterbitkan dapat lebih mengikat di masyarakat[4].
Hanya saja, para peserta musyawarah mengkhawatirkan keberadaan lembaga fatwa tersebut menjadi tidak independen ; menjadi alat pemerintah untuk mendikte ulama. Menyikapi kekhawatiran ini, Menteri Agama menegaskan, lembaga fatwa itu sebenarnya merupakan refleksi peran ulama dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk mendikte ulama[5].
Empat tahun kemudian, tepatnya antara tanggal 26 s/d 29 November 1974, PDII memprakasai lokakarya mubaligh seluruh Indonesia. Dalam lokakarya ini disepakati bahwa untuk memelihara kelanggengan partisipasi umat Islam dalam pembangunan, diperlukan Majelis Ulama atau lembaga semacamnya sebagai wahana yang dapat menjalankan mekanisme yang efektif dan efisien didasarkan pada kondisi daerah masing-masing. Untuk melaksanakan konsensus itu, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan agar daerah-daerah yang belum membentuk Majelis Ulama agar segera membentuknya. Akhirnya pada bulan Mei 1975, hampir seluruh daerah tingkat Kabupaten maupun Provinsi, berdiri Majelis Ulama[6].
Pendirian MUI dilatarbelakangi adanya kesadaran kolektif Umat Islam bahwa Negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan organisasi para ulama,zuama, dan cendikiawan muslim ini merupakan konsekuensi logis dan prasyarat bagi berkembangnya hubungan harmonis antara berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia[7].
Sebelum pendirian MUI, telah muncul beberapa kali pertemuan yang melibatkan para ulama dan tokoh Islam. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad kolektif dan memberikan masukan dan nasehat keagamaan kepada pemerintah dan masyarakat. Pada tanggal 30 September hingga 4 Oktober  1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan sebuah konferensi. Konferensi tersebut digagas untuk membentuk sebuah majelis ulama yang berfungsi memberikan fatwa.
Salah satu gagasan muncul dari sebuah makalah yang dipresentasikan oleh Ibrahim Hosen yang mengutip keputusan Majma al-Buhuts al-Islamiyyah (Cairo, 1964) tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu, dengan keras menolak gagasan tersebut, terutama mengenai pelibatan sarjana sekuler dalam ijtihad kolektif[8].
Akhirnya, sebagai gantinya landasan itu, Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasehat kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia. Karena muncul kontroversi, maka tidak ada keputusan membentuk sebuah majelis. Singkatnya, konferensi tersebut hanya merekomendasikan bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali kemungkinan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Selama empat tahun berikutnya, rekomendasi ini tidak diperhatikan lagi.
Pada tahun 1974, Pusat Dakwah Islam kembali menyelenggarakan konferensi untuk para dai. Konferensi menyimpulkan pentingnya pendirian majelis ulama dan merekomendasikan para ulama di setiap tingkat provinsi harus mendirikan majelis ulama. Presiden Soeharto menyatakan pentingnya sebuah badan ulama bagi sebuah negara untuk menghadirkan Muslim dalam kehidupan antar umat beragama.
Pada tanggal 24 Mei 1975, Presiden Soeharto menekankan pentingnya sebuah majelis setelah menerima kunjungan dari utusan Dewan Masjid Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah konferensi ulama nasional. Pesertanya terdiri dari wakil majelis ulama daerah yang baru berdiri, pengurus pusat organisasi islam, sejumlah ulama independen dan empat wakil dari ABRI. Di sini ada sebuah deklarasi. Lima puluh tiga peserta menandatanganinya pada akhir acara, kemudian diumumkanlah pendirian kumpulan para ulama itu dengan sebutan MUI.
Pada tanggal 21 s/d 27 Juli 1975 diadakan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, yang diikuti utusan-utusan dari Majelis Ulama Daerah seluruh Indonesia. Dalam pembukaannya, Presiden Soeharto menyampaikan garis-garis pedoman bagi bentuk dan fungsi Majelis Ulama Indonesia, sebagai berikut :

  1. Tugas ulama melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
  2. Majelis Ulama menjadi penerjemah, menyampaikan pikiran, dan kegiatan pembangunan nasional maupun pembangunan daerah kepada masyarakat.
  3. Majelis Ulama agar mendorong, memberikan arahan, dan menggerakan masyarakat dalam membangun diri dan masa depannya.
  4. Majelis Ulama agar memberikan bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah.
  5. Majelis Ulama agar menjadi penghubung antara pemerintah dan ulama.
  6. Kepengurusan Majelis Ulama sebaiknya menggambarkan diwakilinya unsur-unsur dari segenap golongan. Sedangkan pejabat-pejabat pemerintah bertindak sebagai pelindung dan penasehat.
  7. Majelis Ulama cukup pengurus saja, dan tidak perlu anggota, dan tidak merupakan organisasi baru disamping ormas Islam yang telah ada.
  8. Majelis Ulama tidak perlu mendirikan madrasah sendiri, dan lembaga sejenis yang sudah dikerjakan organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang agama dan sosial.
  9. Majelis Ulama tidak perlu bergerak di bidang politik. Wadah untuk itu ada dalam partai politik.
  10. Untuk lebih meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama, perlu membentuk semcam badan konsultasi antar umat beragama di Indonesia[9].

Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI) ini, pada akhirnya mengeluarkan deklarasi berdirinya Majelis Ulama Indonesia, yang ditandatangani 26 Ketua-Ketua MUI daerah Tingkat I, 10 orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat[10], 4 orang ulama Dinas Rohani Isalam AD, AU, AL, dan POLRI ; dan 13 ulama yang diundang secara perorangan. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Rajab 1395 H, bertepatan tanggal 26 Juli 1975 M.
MUI untuk pertama kalinya diketuai Hamka didampingi Sekretaris Umum Drs. H. Kafrawi MA, untuk masa jabatan tahun 1975-1980, dengan fungsi sebagai berikut :

  1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
  2. Memperkuat ukhuwah Islamiyah, memelihara, dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
  3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama.
  4. Penghubung antar ulama dan umara serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional[11].

Hamka terpilih kembali untuk periode 1980-1985. Pada bulan Mei 1981, ia mengundurkan diri karena persoalan fatwa haram merayakan “Natal Bersama”. Menteri Agama pada waktu itu, Alamsjah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabutnya, Hamka menegaskan, meski MUI telah mencabutnya bukan berarti hukumnya berubah[12].
Dalam hal afiliasi politik, organisasi MUI bersifat netral, tidak berpihak pada golongan politik manapun, dan tidak melakukan kegiatan operasional di luar tugas pokok dan fungsinya serta kegiatan yang sudah dilakukan ormas Islam lainnya.
Setelah Undang-Undang No. 35 Tahun 1985 dan No. 8 Tahun 1985 disahkan, Undang-Undang ini telah memperkokoh kedudukan MUI di atas semua kelompok dan golongan Islam yang ada. Ulama yang tergabung dalam MUI memiliki citra baru, sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan moral terhadap semua kekuatan politik dalam mengawal dan memelihara kelurusan aqidah umat. Mayoritas fatwa dan nasihat MUI pun diterima PPP, Golkar, dan PDI[13].
Dalam latar kesejarahan MUI disebutkan, setelah lokakarya mubaligh seluruh Indonesia tanggal 26 s/d 29 Nopember 1974 yang diadakan Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII), disepakati: Majelis Ulama atau lembaga semacamnya diperlukan untuk memelihara kelanggengan partisipasi umat Islam dalam pembangunan.
Untuk melaksanakan konsensus itu, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan agar daerah-daerah yang belum membentuk Majelis Ulama segera membentuknya. Targetnya, pada bulan Mei 1975, di seluruh daerah tingkat kabupaten maupun provinsi se-Indonesia berdiri Majelis Ulama, termaksud MUI Provinsi DKI Jakarta.
Periode pertama kepemimpinan MUI DKI Jakarta (1975-1980) Ketua Umum dijabat KH. Abdullah Syafi’i, dibantu 3 orang wakil, yaitu: KH. Rachmatullah Sidiq (Ketua I), Ustadz Muchtar Lutfi al-Anshari (Ketua II), KH. Syukri Ghazali (Ketua III). Jabatan Sekretaris Umum dipegang H. Ghazali Syahlan, dengan dibantu 2 orang sekretaris, yaitu: Dra. H.AM.Fatwa (Sekretaris I), Shalahuddin al-Chairi BA (Sekretaris II). Anggota pengurus terdiri dari 14 orang sipil dan 1 Perwira Menengah TNI yang masih aktif. Di luar jajaran eksekutif, H. Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta berrtindak sebagai pelindung, dan 2 orang penasehat, yakni RHO Hudaya selaku Kepala Perwakilan Departemen Agama RI dan Kolonel H.A. Ruchijat selaku Pembantu Khusus Gubernur[14].

  1. Abdullah Syafi’i dipilih kembali menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta untuk periode kedua, demikian pula Sekretaris Umumnya (1880-1985)[15].

Periode ketiga kepemimpinan MUI DKI Jakarta 1985-1990), Ketua Umum dijabat KH. Achmad Mursyidi dengan Sekretaris Umum H. Ghazali Syahlan (1985-1990)[16]. Pada tahun 1987, karena alasan kesibukan beliau mengundurkan diri dari Ketua Umum MUI dan posisinya digantikan KH. Syafi’i Hadzami menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta antar waktu. (1987-1990)[17].

  1. Syafi’i Hadzami dipilih kembali untuk dua periode berikutnya: periode keempat (1990-1995)[18] dengan Sekretaris Umum Drs. H. Ibrahim AR dan periode kelima (1995-2000) dengan Sekretaris Umum H. Cholid Fadlulloh, SH[19]. Pada periode keenam (2000-2005), Kyai Mursyidi berkantor kembali di H. Awaluddin II, Jakarta untuk memimpin MUI DKI Jakarta periode 2000-2005 dibantu Sekretaris Umum Drs. H.Zainuddin. Kyai Mursyidi terpilih lewat Musyawarah Daerah pada tahun 1999[20] . Pada tanggal 9 April 1003, KH. Mursyidi wafat dan posisinya digantikan KH. Ahmad Syatibi (2003). Tetapi belum sampai satu tahun menjabat sebagai Ketua Umum MUI, beliau juga wafat dan jabatan Ketua Umum diteruskan oleh KH. Mansyuri Syahid sampai diselenggarakannya MUSDA VI MUI DKI Jakarta tahun 2005[21]. Akhirnya dalam MUSDA ini, KH. Munzir Tamam, MA ditetapkan sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta periode 2005-2010[22].

Selanjutnya, KH. Munzir Tamam, MA terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk memimpin MUI DKI Jakarta periode 2010-2015 didampingi Dr. Samsul Maarif, MA sebagai Sekretaris Umum. Namun, di tengah jalan—sebagaimana diberitakan Info Ulama edisi 1– ada perselisihan internal di kepengurusan MUI DKI  Jakarta yang lama yang membuat MUI Pusat turun tangan untuk menyelesaikannya. MUI Pusat sendiri sudah melakukan mediasi  terhadap pihak-pihak yang berkonflik di internal kepengurusan MUI DKI Jakarta tersebut. Namun, karena  upaya mediasi mengalami jalan buntu, MUI Pusat kemudian mengganti kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama dengan yang baru melalui mekanisme Musyawarah Daerah (Musda) yang dipercepat. Musda MUI Provinsi DKI Jakarta yang dipercepat tersebut diselenggarakan hanya satu hari  pada hari Rabu, 2 September 2013 di Gedung  MUI Pusat Jl. Proklamasi, Menteng Jakarta Pusat.   Dari Musda  yang dipercepat tersebut, Tim Formatur menetapkan Kepengurusan MUI DKI Jakarta  Masa Khidmat 2013-2018 dengan K.H.  A. Syarifuddin Abdul Ghani, MA sebagai Ketua Umum dan K.H. Zulfa Mustofa MY sebagai Sekretaris Umum-nya.
Susunan Organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) meliputi:

  1. MUI Pusat, berkedudukan di Ibukota Negara. Berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M.
  2. MUI Provinsi DKI Jakarta, berkedudukan di Ibukota Provinsi DKI Jakarta. Berdiri pada tanggal 1 Shafar 1395 H bertepatan dengan tanggal 13 Februari 1975 M.
  3. MUI Kotamadya/Kabupaten, berkedudukan di Ibukota Kotamadya/Kabupaten yang terdiri dari:
  4. MUI Kota Administrasi Jakarta Pusat
  5. MUI Kota Administrasi Jakarta Utara
  6. MUI Kota Administrasi Jakarta Barat
  7. MUI Kota Administrasi Jakarta Selatan
  8. MUI Kota Administrasi Jakarta Timur
  9. MUI Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
  10. MUI Kecamatan, terdapat 44 Kecamatan dalam wilayah Privinsi DKI Jakarta[23]

Hubungan organisasi antar MUI Pusat dengan MUI Provinsi, MUI Kotamadya/Kabupaten, dan juga dengan MUI Kecamatan, bersifat koordinatif, aspiratif, dan struktur administratif. Sedangkan hubungan antara MUI dangan organisasi atau lembaga-lembaga Islam lainnya, bersifat konsultatif dan kemitraan. [Dinukil dan diolah dari buku Kumpulan Fatwa MUI Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1975-2012 dengan penyusun KH. A. Syarifuddin Abdul Gani, MA dan DR. H. Fuad Thohari, MA]


[1] Fuad Thohari, Takhrij Hadis Fatwa MUI DKI Jakarta, Disertasi. Lihat juga, Habib Setiawan, “Sekilas Terbentuknya Majelis Ulama Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta”, Makalah, Tanpa Tahun, hal. 3.
[2] Hasan Basri, “Majelis Ulama Indonesia Selayang Pandang”, Makalah, (Jakarta : MUI, tth), hal. 2.
[3] Ajip Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, (Jakarta : Giri Mukti Pusaka, 1990), hal, 222.
[4] Habib Setiawan, Sekilas Terbentuknya……….., hal, 5
[5] Habib Setiawan, Sekilas Terbentuknya……….., hal, 5
[6] Habib Setiawan, Sekilas Terbentuknya……….., hal, 5
[7] Habib Setiawan, Sekilas Terbentuknya……….., hal, 5
[8] Hamam Faizin, “MUI dalam Bingkai Sejarah”, makalah, tidak diterbitkan
[9] MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama DKI Jakarta Tahun 1976/1977, (Jakarta : MUI DKI Jakarta, 1977), hal. 6.
[10] Kesepuluh Ormas Islam tersebut : NU (KH. Moh Dahlan), Muhammadiyah (Ir. H. Basit Wahid), Syarikat Islam (H. Syafi’i Wirakusumah), Perti (H. Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah (Anas Tanjung), Mathla’ul Anwar (KH. Saleh Su’aidi), GUPPI (KH. S. Qudratullah), PTDI (H. Sukarsono), DMI (KH. Hasyim Adnan), Al Ittihadiyah (H. Zaenal Arifin Abbas).
[11] MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama DKI Jakarta Tahun 1978/1979, (Jakarta: MUI DKI Jakarta, 1979), hal 5.
[12] MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama DKI Jakarta Tahun 1981/1982, (Jakarta: MUI DKI Jakarta, 1982), hal 4.
[13] MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama DKI Jakarta Tahun 1985/1986, (Jakarta: MUI DKI Jakarta, 1986), hal 7.
[14] MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan….,hal.10.
[15] Disahkan oleh Rapat Formatur Pembaharuan Dewan Pimpinan Majelis Ulama DKI Jakarta, pada tanggal 7 Juli 1980.
[16] Disahkan oleh Rapat Formatur Pembaharuan Dewan Pimpinan Majelis Ulama DKI Jakarta, pada tanggal 17 Februari 1985.
[17] Habib Setiawan, Sejarah MUI…., hal.70.
[18] Habib Setiawan, Sejarah MUI…., hal.143.
[19] Habib Setiawan, Sejarah MUI…., hal.146.
[20] Habib Setiawan, Sejarah MUI…., hal.91.
[21] Habib Setiawan, Sejarah MUI…., hal.107.
[22] Habib Setiawan, Sejarah MUI…., hal.151.
[23] MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1992, (Jakarta:MUI DKI Jakarta, 1992), hal 5.

 

SUMBER:

https://www.muidkijakarta.or.id/menengok-kembali-sejarah-mui-provinsi-dki-jakarta/#_ftn1