Home > Artikel > Wahyu Kristian Wijaya: Natal, Keluarga, dan Bumi
ArtikelBerita dan KegiatanKristen Protestan

Wahyu Kristian Wijaya: Natal, Keluarga, dan Bumi

wahyuUmat Kristen merayakan kelahiran Isa Almasih atau Yesus setiap 25 Desember dan pada tahun ini tema Natal bersama yang diangkat adalah “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah.” Apa yang melatarbelakangi tema tersebut? Para pemimpin Gereja, dalam hal ini Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengajak umat beriman sebagai satu keluarga yang hidup bersama untuk bersyukur atas kehadiran Sang Juruselamat.

Dengan ungkapan “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” ingin ditekankan bahwa manusia apa pun latar belakangnya merupakan satu keluarga yang hidup bersama dalam satu rumah yaitu Bumi. Pemahaman tentang keluarga hendaknya tidak dipersempit hanya sebatas keluarga inti yaitu ayah, ibu, dan anak, melainkan keluarga dalam arti luas dalam kebersamaan sebagai Umat Allah yang melampaui ikatan darah, suku, ras, dan tempat asal. Menyadari keberagaman bangsa Indonesia sebagai sebuah kekayaan saya menyerukan pada hari Natal ini bahwa “Berani Bertoleransi, Hebat!”

“Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” tampaknya konsep yang terlalu abstrak. Saat ini hidup bersama di dalam satu keluarga saja kadang terjadi ketidakcocokan; atau dalam ekstrem yang lain hidup bersama di dalam satu keluarga saat ini kendati terlihat bersama namun sebenarnya tidak. Kita ambil contoh saja saat makan bersama, apakah antara anggota keluarga saling menyapa atau sibuk dengan HP di tangan masing-masing? Keluarga kita saat ini tersandera oleh dunia maya. Maka untuk dapat menyadari bahwa kita hidup bersama sebagai keluarga Allah hendaknya memulai hidup bersama dalam satu keluarga yang harmonis, bagaimana caranya? Membuka hati dan berkomunikasi dengan hati tidak hanya dengan wifi merupakan jawabannya. Tinggalkan sejenak alat-alat komunikasi saat makan bersama dan mulailah saling berbagi cerita kerena di ruang itulah Yesus hadir.

Natal akan menjadi bermakna ketika Umat Allah memberi “ruang” untuk Dia yang lahir di dalam hati—alih-alih latah membuat goa atau kandang Natal sementara hati tetap saja tertutup. Jika di dalam setiap keluarga Umat Allah sudah dapat hidup bersama dengan harmonis tentu keluarga-keluarga yang lain akan mudah menyebut dirinya sebagai Keluarga Allah. Betapa indah hidup dalam kebersamaan sebagai keluarga Allah dapat terwujud di seluruh pelosok Negera Kesatuan Republik Indonesia.

Bangsa Indonesia dapat bertahan sampai saat ini karena adanya kemauan untuk hidup bersama dari semua warga negara Indonesia yang bermacam-macam latar belakangnya. Apa yang dapat menyatukan kita? Pancasila, maka mari bersama-sama sekuat tenaga mempertahankan Pancasila dan mengamalkan nilai-nilai di dalamnya (ketuhanan/religius, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial). Nilai-nilai yang ada juga di dalam Umat Allah.

Umat Allah yang terkasih marilah kita memberi “ruang” di dalam hati kita untuk menyambut kelahiran Sang Penebus. Hanya dengan demikian kita dapat sungguh-sungguh memaknai Natal tahun ini. Yesus lahir ke dunia dalam kesederhanaan bahkan dapat dikatakan dalam kehinaan dan penderitaan karena bayi Yesus hanya “dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan” (Lukas 2:16) sebab “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Lukas 2:7). Hendaknya semangat yang sama juga dimiliki Umat Allah yang merayakan kelahiran Yesus pada Natal tahun ini sebagai Keluarga Allah dengan memerhatikan orang-orang membutuhkan uluran kasih.

Yesus sungguh hadir di dunia ini dan berjanji “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20) namun jangan-jangan selama ini Yesus yang hadir di tengah-tengah kita dalam kesederhanaan-Nya tidak kita sadari. Mungkin umat Kristen justru menutup diri dan mengabaikan kehadiran-Nya karena berpikir bahwa Yesus hanya dapat ditemui saat Natal ini yang dikemas dengan segala kemewahannya—bertolak belakang dengan kisah kesederhanaan kelahiran Yesus yang tertulis di dalam Kitab Suci (Matius 1:18-25 dan Lukas 2:1-7). Bumi dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya yang ingin diselamatkan-Nya sepertinya menolak-Nya (lagi).

Hidup bersama di Bumi yang sama mengajak umat beriman untuk menjaga dan merawat bumi sebagai rumah bersama. Bagaimana caranya? Hal yang paling sederhana adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan, memanfaatkan sumber alam dengan bijaksana dan menanam pohon sebagai bentuk usaha mencintai bumi. Kiranya hal ini dapat dilakukan oleh semua orang tidak terbatas umat kristiani. Maka sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Yesus mari menyadari kebersamaan kita sebagai Umat Allah, “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” di rumah yang sama yaitu Bumi. Selamat Natal 2015 dan menyambut Tahun 2016 dengan sukacita. Tuhan memberkati.

 

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.